Thursday, May 22, 2008

TABAYUN I

Tuduhan : HT, Ingkar Sunnah dan Hadis Ahad.

Penjelasan:
Ingkar sunnah, atau dalama bahasa Melayu disebut anti hadits, adalah komunitas yang jelas menolak hadits sebagai sumber hukum Islam. Pada ulama’ sepakat, bahwa menolak Sunnah sebagai sumber hukum, sama dengan menolak al-Qur’an. Sama-sama dinyatakan kufur, orangnya disebut Kafir. Berbeda dengan menolak satu hadits sahih sebagai salah satu sumber hukum. Dalam hal ini, para ulama’ memvonis orang tersebut sebagai orang Fasik. Lebih berbeda lagi, ketika menolak satu hadits untuk dijadikan sebagai dalil untuk kasus tertentu, baik karena sumbernya masih diperdebatkan, atau karena faktor dalalah (konotasi)-nya yang memang dianggap tidak relevan. Yang terakhir ini jelas boleh.
Dalam konteks hadits Ahad, HT tidak pernah menolak hadits Ahad. Jika persoalannya menolak atau tidak, jelas HT tidak pernah menolak. Tetapi, jika masalahnya: apakah hadits Ahad itu bisa digunakan sebagai dalil akidah atau tidak? Juga apakah hadits Ahad itu bisa dijadikan dalil hukum syara’ atau tidak? Tentu, jawabannya bukan menolak atau tidak, melainkan bisa dan tidak sebagai dalil. Dalam konteks akidah, hadits Ahad itu sendiri memang tidak bisa digunakan sebagai dalil. Pertama, fakta akidah itu sendiri yang harus qath’i, atau yakin seratus persen. Kedua, fakta hadits Ahad yang hanya bisa mengantarkan pada ghalabah adh-dhann (dugaan kuat). Artinya, fakta akidah seperti ini —yang nota bene harus yakin seratus persen— jelas tidak bisa dibangun dengan dalil yang hanya bisa mengantarkan pada keyakinan di bawah seratus persen, sementara yang dibutuhkan harus seratus persen. Jadi, masalahnya seperti itu. Bukan soal menerima atau menolak hadits Ahad. Selain itu, dalam hal ini para ulama’ juga terbelah menjadi dua kelompok: ada yang menganggap hadits Ahad bisa dijadikan dalil akidah, dan ada yang tidak. Kembali kepada kesimpulan mereka, apakah hadits Ahad tersebut menghasilkan dhann (dugaan), atau ‘ilm (keyakinan). Maka, menuduh HT dengan menolak hadits Ahad, karena hadits tersebut tidak digunakan sebagai dalil akidah adalah tuduhan yang menyesatkan. Sebab jelas bertentangan dengan fakta.
Adapun dalam konteks hukum syara’, jika pertanyaannya: apakah khabar Ahad bisa dijadikan dalil hukum syara’? Jawabnya pasti bisa. Dalam hal ini, para ulama’ tidak ada perbedaan pendapat.
Disamping itu, HT berpedoman pada nash-nash yang dinyatakan oleh Allah dalam al-Qur’an yang banyak mengecam akidah kaum Kafir, misalnya, surat an-Nisa’: 157, al-An’am: 116, 148, Yunus: 36, 66, an-Najm: 23 dan 28. Kesemuanya dengan jelas mengecam akidah mereka, karena mereka hanya mengikuti dhann (dugaan). Konteks nash-nash tersebut memang ditujukan kepada orang Kafir, yang sekaligus menjadi indikasi adanya larangan yang tegas (nahy jazim) kepada kaum Muslim untuk tidak berakidah seperti mereka. Yang itu berarti, berakidah seperti orang Kafir tersebut jelas haram.
Agar kaum Muslim bisa menjauhkan diri dari larangan tersebut, maka mereka harus meninggalkan hal-hal yang bisa mengantarkan mereka ke sana. Termasuk di dalamnya adalah menggunakan hadits Ahad sebagai dalil dalam berakidah. Secara faktual juga tidak bisa dibantah, bahwa akibat penggunaan dalil seperti ini umat Islam dahulu telah terjebak dalam aksi Kafir-Mengkafirkan, karena adanya ikhtilaf yang dipicu oleh dalil itu sendiri. Logikanya jelas, masalah akidah adalah masalah iman dan kufur; siapa yang tidak mengimani apa yang diimani satu kelompok, maka dianggap kafir. Demikian sebaliknya.
Karena itu, dalam Muqaddimah ad-Dustur, HT menyatakan, bahwa sekalipun negara tidak mengadopsi mazhab akidah tertentu, tetapi negara tetap harus menentukan dalil mana yang bisa digunakan dan tidak dalam berakidah untuk menjauhkan kaum Muslim dari perkara yang dilarang oleh Allah SWT. sebagaimana yang dinyatakan dalam nash-nash di atas.

====================================================================

Tuduhan : HT adalah Muktazilah Gaya Baru yang Cenderung Mendewakan Akal.

Penjelasan:
Kesimpulan HT adalah Neo-Muktazilah adalah cara pengambilan kesimpulan yang sama, sebagaimana cara pengambilan kesimpulan sebelumnya. Semuanya menyesatkan. Intinya, agar masyarakat menjauhkan diri dari HT.
Tuduhan seperti ini, bisa jadi lahir karena kebodohan tentang Muktazilah dan HT itu sendiri, sehingga menyamakan dua fakta yang berbeda, tetapi ironinya dianggap sama; atau karena faktor su’ an-niyyah (niat jahat). Wallahu a’lam.
Jika HT dituduh Neo-Muktazilah karena sama-sama menggunakan akal, maka pertama, kesimpulan ini adalah kesimpulan mantik; kedua, dengan adanya perbedaan antara HT dan Muktazilah dalam memandang akal, sebenarnya sudah cukup untuk meruntuhkan tuduhan tersebut.

Memposisikan akal
Satu hal yang menonjol, Muktazilah sangat mengedepankan akal dalam segala hal. Mereka juga tidak membatasi ruang lingkup kerja akal.
Batasan mengenai akal itu sendiri belum dipahami dan tetap menjadi persoalan di kalangan ulama’ kaum Muslim, termasuk ahli filsafat dari dulu hingga sekarang. Hal itu tampak jelas dari, misalnya, anggapan al-Ghazali bahwa akal itu seperti cermin;8 juga dari pandangan filosof Muslim dan mutakallimin yang membagi akal menjadi tujuh macam akal seperti yang telah disimpulkan oleh al-Amidi dan al-Jurjani,9 padahal akal itu faktanya hanya satu.
Karena itu, demi kebaikan manusia, kehidupan dan alam semesta, harus dipahami fakta akal, proses berpikir, dan metode berpikir.10 Di sinilah HT melakukan analisis terhadap fakta akal, wilayah kerja akal, dan metode berpikir (menggunakan akal) yang benar.
Setelah meneliti dan menganalisis fakta akal, HT memandang bahwa akal (al-‘aql), pemikiran (al-fikr), dan kesadaran (al-idrâk) adalah satu realita yang sama; yaitu sebagai proses pemindahan fakta ke dalam otak, dengan perantaraan indera, yang didukung oleh adanya informasi awal, yang dengan itulah fakta ditafsirkan.11
Dengan demikian, dalam pandangan HT, akal atau pikiran itu terdiri dari empat komponen: (1) fakta inderawi; (2) indera; (3) otak; (4) informasi awal. Walhasil, aktivitas berpikir (menggunakan akal) harus melibatkan keempat komponen ini, yang jika salah satunya tidak ada, tidak akan pernah terjadi yang namanya proses atau aktivitas berpikir.
Dari batasan tersebut, HT kemudian mengklasifikasikan fungsi akal menjadi dua: (1) idrak, dan (2) fahm. Dalam konteks idrak, akal berfungsi untuk menghukumi fakta yang memang bisa diindera, baik secara langsung maupun melalui tanda-tandanya, yang kemudian ditopang dengan informasi awal tentang fakta tersebut. Seperti kesimpulan, bahwa alam itu makhluk, karena bersifat terbatas, tidak abadi dan azali. Sedangkan dalam konteks fahm, akal hanya berfungsi memahami fakta berdasarkan informasi yang akurat tentang fakta tersebut, sementara faktanya itu sendiri tidak bisa diindera. Contoh, pedihnya adzab Akhirat itu adalah fakta (bukan imajinasi) yang bisa dipahami oleh akal melalui informasi Allah, sementara akal tidak pernah bisa menjangkau fakta (kenyataan adzab) tersebut. Tetapi, fakta tersebut nyata, karena sumber informasinya akurat, dan pasti benar.
Maka, dalam pembahasan akidah, HT tidak terlibat dalam perdebatan, misalnya: apakah sifat Allah sama dengan dzat-Nya, ataukah tidak; sesuatu yang nota bene menjadi perdebatan panjang antara Ahlusunnah di satu sisi, dan Muktazilah di sisi lain. Perdebatan seperti ini dianggap keliru oleh HT, karena yang dibahas adalah fakta yang tidak bisa dijangkau oleh akal, sementara dalil naqli juga tidak ada yang membahasnya. Semuanya ini tentu karena HT mempunyai batasan yang jelas tentang akal, wilayahnya, kapan bisa digunakan dan tidak, termasuk mana yang bisa di-idrak, dan mana yang hanya bisa di-fahm saja.
Dalam konteks hukum syara’, dimana akal hanya bisa berfungsi untuk memahami, HT pun telah meletakkan akal bukan sebagai hakim, sebagaimana Muktazilah, yang menyatakan bahwa akal bisa menentukan baik dan buruk, termasuk terpuji dan tercela. Tetapi, HT memandang:

Kebaikan adalah apa yang dinyatakan baik oleh syara’, sedangkan keburukan adalah apa yang dinyatakan buruk oleh syara’.

Demikian juga:

Perkara terpuji adalah apa yang diridhai oleh Allah, sedangkan perkara tercela adalah apa yang dimurkai oleh Allah.

Jadi, tuduhan bahwa HT mendewa-dewakan akal itu jelas menyesatkan. Sebaliknya, HT telah meletakkan akal sesuai dengan proporsi yang seharusnya dimainkan oleh akal. Intinya, HT tidak menghalangi akal untuk menghukumi sesuatu yang sesungguhnya bisa dilakukan oleh akal; sebaliknya, HT Tidak membebaskan (artinya mencegah, red.) akal untuk menghukumi sesuatu yang tidak mampu dijangkau oleh akal.

Memposisikan persoalan Qadha’ dan Qadar.
Jika bukan karena fenomena akal, barangkali tuduhan di atas dibangun karena, menurut mereka, HT beranggapan bahwa manusialah yang menentukan perbuatannya. Sesuatu yang lazim dibahas oleh ulama’ usul dalam persoalan Qadha’ dan Qadar. Benarkah HT mempunyai pandangan yang sama dengan Muktazilah dalam isu kebebasan berkehendak (free will)?
Muktazilah memang sering disebut Qadariah, karena gagasannya tentang qadar, yang menolak dikaitkannya perbuatan manusia dengan takdir. Menurut mereka, manusia itu bebas bekehendak untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan; manusia sendirilah yang menciptakan perbuatannya, bahkan termasuk khasiat suatu benda yang terkait dengan perbuatannya. Misalnya, memukul dengan alat pemukul adalah perbuatan manusia, termasuk rasa sakit yang ditimbulkan dari pukulan yang menggunakan alat pemukul tadi. Teori seperti ini dalam istilah Muktazilah lazim disebut Af’al wa tawalludu al-af’al (perbuatan dan efek yang ditimbulkan perbuatan).
Pandangan inilah yang menyeret Ahlussunnah dan kelompok-kelompok lain. Dari sinilah kemudian berkembang apa yang kemudian dikenal dengan istilah Qadha’ dan Qadar.
Kesalahan yang paling fatal dalam konteks ini adalah karena masing-masing pihak yang terlibat dalam polemik tersebut tidak pernah memisahkan: perbuatan (al-af’al), di satu sisi, dan efek yang ditimbulkan oleh perbuatan (tawalludu al-af’al), di sisi lain. Kesalahan yang kedua, mereka mengaitkan pembahasan perbuatan manusia tersebut dengan perbuatan Allah.
Ketika melihat faktanya seperti ini, HT kemudian memisahkan antara fakta perbuatan dan efek yang dihasilkannya, melalui alat yang digunakannya. Kemudian mendudukan pembahasan tersebut hanya membahas obyek yang bisa dijangkau oleh akal manusia, yaitu perbuatan manusia. Maka disimpulkan, bahwa perbuatan manusia itu ada dua kategori:
Pertama, yang tidak bisa dipilih oleh manusia (mujbar); posisi manusia berada dalam lingkaran yang menguasai dirinya. Di sini, manusia tidak memiliki peran apa-apa. Inilah yang disebut qadha’. Dalam hal ini, baik dan buruknya sepenuhnya dinisbatkan kepada Allah. Dalam konteks seperti ini manusia tidak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah pada Hari Akhirat kelak. Manusia, misalnya, tidak akan dihisab oleh Allah karena gempa atau tsunami yang telah menimpanya, yang menghancurkan harta dan menghilangkan jiwanya; ia juga tidak akan dihisab karena tiba-tiba mobilnya mogok di tengah jalan—tanpa dia sendiri kuasa mengatasinya—sehingga menimbulkan kemacetan total dan tentu saja merugikan orang banyak.
Kedua, yang bisa dipilih oleh manusia (mukhayyar); posisi manusia berada dalam lingkaran yang dia kuasai. Di sini, manusia bisa berperan apa saja. Tentu ini bukan wilayah qadha’, sehingga tidak bisa menisbatkan semuanya kepada Allah. Sebaliknya, baik dan buruknya sepenuhnya merupakan pilihan manusia. Maka, manusia akan dimintai pertanggungjawaban kelak di Akhirat. Manusia beriman atau kafir, misalnya; duduk atau berdiri; makan-minum yang halal atau yang haram; menikah atau berzina; menerapkan hukum Allah atau hukum manusia; dan sebagainya; semua itu berada dalam ikhtiar (pilihan) manusia sepenuhnya. Karena itu, pilihan manusia dalam wilayah ini akan dihisab di hadapan Allah kelak pada Hari Akhir.
Itu di satu sisi, tentang fakta perbuatan manusia. Di sisi lain, fakta perbuatan manusia juga tidak bisa dilepaskan dari alat yang digunakan untuk melakukan perbuatan. Dan dengan menggunakan alat tersebut, muncullah efek perbuatan, seperti rasa sakit yang diakibatkan oleh pukulan yang menggunakan kayu. Apa yang oleh Muktazilah disebut tawallud al-af’al itu dianggap keliru oleh HT. Sebaliknya, yang tepat adalah khashiyat al-asyya’ (khasiat benda), karena faktanya memang demikian. Inilah yang kemudian disebut oleh HT dengan menggunakan istilah qadar.
Khasiat itu sendiri adalah karakteristik khas yang dimiliki oleh benda sebagai ciptaan Allah. Contoh: api mempunyai karakteristik khas bisa membakar dan panas; sementara air mempunyai karakteristik khas bisa membasahi dan memadamkan api. Begitu seterusnya. Semua potensi itu adalah ciptaan Allah yang melekat pada sesuatu sebagai sunatullah. Manusia tidak akan dihisab oleh Allah Swt. berkaitan dengan semua karakteristik yang telah diciptakan Allah pada benda, termasuk pada dirinya sendiri.
Yang dihisab oleh Allah Swt. dalam konteks khashiyat adalah pemanfaatan manusia atas khasiat-khasiat itu. Contoh: manusia tidak akan dihisab oleh Allah karena memiliki hasrat seksual; yang akan dihisab adalah pemanfaatan hasrat seksual tersebut—apakah di jalan yang halal dengan cara menikah atau di jalan yang haram dengan cara berpacaran, berzina, atau melacur.
Dari sini tampak jelas bahwa HT sangat berbeda dengan Muktazilah. Bahkan bisa dikatakan, HT melakukan koreksi atas kesalahan Muktazilah, termasuk Ahlussunnah, sekaligus memberikan solusi yang benar atas persoalan qadhâ’ dan qadar yang diperdebatkan oleh para mutakallimin sejak Abad I Hijriah itu.
Jadi, HT tidak bisa disamakan dengan Muktazilah; keduanya sangat jauh berbeda. Karena itu, tuduhan bahwa HT adalah Neo-Muktazilah merupakan tuduhan yang sangat keliru dan menyesatkan. Ini juga membuktikan, bahwa tuduhan tersebut sekaligus membuktikan kebodohan pihak penuduh terhadap fakta Muktazilah dan HT, atau karena faktor lain, yaitu su’ an-niyyah (berniat jahat).

0 comments:

 

Home | Blogging Tips | Blogspot HTML | Make Money | Payment | PTC Review

Bergerak Berkali-Kali coz Mati hanya sekali!! © Template Design by Herro | Publisher : Templatemu