Monday, January 26, 2009

Tahukah Anda


Tahukah Anda,sekularisme?

Sekularisme, yakni paham pemisahan agama dari kehidupan. Agama tidak diingkari secara total, tapi masih diakui walau pun secara terbatas, yaitu hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan.

Lalu hubungan manusia dengan manusia siapakah yang megatur dan membuat hukumnya? Jawabnya, tentu manusia itu sendiri, bukan Tuhan atau agama.

Tahukah Anda,Syariah Islam?

Syariah Islam (al-hukm al-syar'iy) adalah segala ketentuan Allah SWT yang berkaitan dengan aktivitas manusia (khithab al-syaari' al-muta'alliqu bi af-al al-'ibad). Maka segala aktivitas manusia, apa pun juga, tidak ada yang terlepas dari ketentuan Syariah Islam yang mencakup hukum-hukum ibadah, makanan, minuman, pakaian, akhlaq, mu'amalat, dan 'uqubat [sistem pidana] (an-Nabhani, Nizham al-Islam, 2001).

Tahukah Anda,Pelaksanaan Syariah?

Pelaksanaan Syariah Islam dibebankan kepada 3 (pihak) :

(1) Individu, misalnya sholat, puasa, dan haji;

(2) Kelompok (jama'ah), misalnya amar ma'ruf nahi mungkar (lihat QS 3 : 104);

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS 3 : 104)

(3) Negara, misalnya sistem pidana (nizham 'uqubat), sistem pemerintahan (nizham al-hukm), dan sistem ekonomi (nizham al-iqtishad).

Pelaksanaan Syariah Islam yang mengatur urusan privat dan kelompok tidak mensyaratkan keberadaan negara secara mutlak. Berbeda dengan itu, pelaksanaan Syariah Islam yang mengatur urusan publik, jelas mensyaratkan keberadaan

negara, secara mutlak. Tanpa eksistensi negara, tidak mungkin hukum-hukum publik seperti sistem pidana dan pemerintahan Islam akan dapat terlaksana dengan sempurna. Tentu negara ini bukan sembarang negara, melainkan hanya negara yang didirikan di atas asas Aqidah Islamiyah, sehingga siap melaksanakan Syariah Islam. Negara inilah yang disebut dengan Khilafah (Imamah).

Tahukah Anda,Syariah bagi seorang muslim?

Bagi seorang muslim, mengikatkan seluruh aktivitasnya dengan Syariah Islam adalah wajib hukumnya (lihat misalnya QS 4:59).

”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS 4:59)

Lebih dari itu, keterikatan muslim dengan Syariah Islam adalah konsekuensi dari keimanannya terhadap islam.

”Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS 4:65)

Sebaliknya seorang muslim haram hukumnya melaksanakan hukum selain Syariah Islam,

..Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (QS 5:45)

”.. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (QS 5:47)

dan bahkan jika ia mengingkari Syariah Islam serta menganggap selain Syariah Islam adalah lebih baik, ia menjadi kafir (murtad).

”..Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS 5:44)

Tahukah Anda,Urgensi Syariah?

Urgensi Syariah Islam adalah untuk memberikan solusi terhadap problem-problem manusia (mu'aalajaat li masyaakil alinsaan). Dalam konteks Indonesia, problem-problem ekonomi (seperti Freeport, Exxon, Newmont) dan problem sosial (seperti pornografi dan pornoaksi), misalnya, akan dapat diselesaikan dengan baik dan benar andaikata saja

diselesaikan dengan Syariah Islam.

Wallahu a’lam! (Asseifff)

Read More......

Wednesday, January 21, 2009

Kemenangan Dakwah

HTI-Press. Mengapa kemenangan dakwah tak kunjung datang, padahal gerakan dakwah ini semakin lama semakin matang? Mengapa nashrullâh tak kunjung turun, padahal perjuangan dakwah ini sudah berjalan puluhan tahun? Mengapa Khilafah tak kunjung tegak berdiri, padahal jamaah dakwah ini, selama ini, konsisten mengikuti manhaj Nabi saw.?

Mungkin beberapa pertanyaan di atas pernah terbersit dalam jiwa setiap syabab pengemban dakwah, tentu yang senantiasa menjadikan dakwah sebagai fokus perhatian dan poros hidupnya. Tidak jarang, pertanyaan-pertanyaan semacam ini memunculkan keraguan dalam jiwanya terhadap kesahihan fikrah (pemikiran) dan tharîqah (metode dakwah) yang selama ini ditempuh gerakan dakwahnya. Tidak jarang pula pertanyaan-pertanyaan di atas membersitkan ketidak-tsiqah-an dirinya terhadap harakah dakwah sekaligus qiyâdah-nya.

Pertanyaan-pertanyaan di atas sebetulnya wajar, bahkan harus selalu menjadi bahan tafakur dan renungan setiap pengemban dakwah. Dengan itu ia akan selalu bersikap kritis terhadap setiap penyimpangan—hatta seujung rambut—yang dilakukan oleh jamaah dakwahnya dari manhaj dakwah Rasulullah saw. Namun, sudah selayaknya pertanyaan-pertanyaan itu juga memunculkan sikap kritis terhadap dirinya sendiri. Sudahkah ia menjadi pengemban dakwah sejati sebagaimana Rasulullah saw. dan para Sahabatnya? Sebab, jangan-jangan tertundanya nashrullâh dan tak kunjung tegaknya Khilafah adalah karena kualitas keimanan maupun ketakwaan kita yang masih sangat jauh dibandingkan dengan generasi salafus-shâlih dulu.

*****

Rasulullah saw. dan para Sahabatnya, juga generasi salafush-shâlih setelah mereka, meraih kemenangan demi kemenangan atas musuh-musuh mereka karena mereka senantiasa berpegang teguh pada agama ini.

Di dalam banyak kitab Sîrah telah diriwayatkan bahwa musuh mana pun tidak sanggup bertahan lama menghadapi para Sahabat Rasulullah saw., bahkan Kerajaan Romawi sekalipun, yang saat itu merupakan sebuah ‘negara adidaya’.

Mengapa pasukan Romawi bisa dikalahkan oleh kaum Muslim? Inilah yang juga menjadi pertanyaan Heraklius, penguasa Romawi saat itu. Saat berada di Antakiah dan pasukan Romawi pulang dalam keadaan kalah menghadapi kaum Muslim, Heraklius berkata kepada pasukannya, “Celaka kalian! Jelaskan kepadaku tentang orang-orang yang berperang melawan kalian? Bukankah mereka juga manusia seperti kalian?!”

“Benar,” jawab pasukan Romawi.

“Siapa yang lebih banyak pasukannya, kalian atau mereka?”

“Kami lebih banyak pasukannya beberapa kali lipat di semua tempat.”

“Lalu mengapa kalian bisa dikalahkan?” Tanya Heraklius lagi.

Salah seorang tokoh Romawi berkata, “Karena mereka biasa melakukan salat malam, berpuasa pada siang hari, menepati janji, melakukan amar makruf nahi mungkar dan berlaku adil kepada sesama mereka. Sebaliknya, kita biasa minum minuman keras, berzina, melakukan keharaman, ingkar janji, merampok, menzalimi orang, memerintahkan hal-hal haram, melarang hal-hal yang diridhai Tuhan serta membuat kerusakan di muka bumi.”

Kepada tokoh itu, Heraklius berkata, “Kamu benar!” (Diriwayatkan oleh Ahmad bin Marwan al-Malik, dalam kitab Al-Bidâyah (VII/15); juga oleh Ibnu Asakir).

Sebab-sebab pembawa kemenangan juga pernah dijelaskan oleh salah seorang intel Romawi yang dikirim untuk menyelidiki kondisi kaum Muslim. Usai menjalankan tugasnya, intel itu menjelaskan kondisi kaum Muslim, “Mereka adalah ‘para biarawan’ (para ahli ibadah) pada malam hari dan para pendekar ulung pada siang hari. Jika anak penguasa mereka mencuri, mereka memotong tangannya, dan jika ia berzina, mereka merajamnya, untuk menegakkan kebenaran di tengah-tengah mereka.”

Mendengar itu, atasan sang intel itu berkata, “Jika laporanmu ini benar, perut bumi (kematian, pen.) lebih baik bagiku daripada berhadapan dengan mereka di atas permukaan bumi. Aku berharap Tuhan tidak mempertemukan aku dengan mereka.” (Diriwayatkan Al-Baihaqi, dalam As-Sunan al-Kubrâ, VIII/175).

****

Jelas, kemenangan generasi Muslim terdahulu adalah karena keteguhan mereka dalam berpegang teguh dengan agama ini. Sebaliknya, kekalahan yang mereka alami adalah karena kebalikannya.

Jika kita menelaah Perang Uhud, misalnya, kita akan menemukan bahwa sebab kekalahan kaum Muslim di dalamya ialah karena perilaku sebagian kecil dari mereka yang tidak menaati perintah Rasulullah saw. Sebagian pasukan pemanah, yang jumlah mereka tidak mencapai 4% dari jumlah total pasukan kaum Muslim ketika itu, melakukan tindakan indisipliner. Mereka bermaksiat terhadap perintah Rasulullah saw. Akibatnya, 70 orang Sahabat terbunuh; perut mereka dibelah; hidung dan telinga mereka dimutilasi; Rasulullah saw. sendiri terluka, wajah Beliau tergores, dan gigi antara gigi seri dan gigi taring Beliau rontok.

*****

Jadi, mengapa nashrullâh tak kunjung turun, kemenangan tak kunjung datang dan Khilafah tak kunjung tegak? Boleh jadi, semua itu berpangkal pada kemaksiatan kita, bukan karena ketidaksahihan fikrah dan tharîqah dakwah kita. Mungkin karena selama ini kita pun bermaksiat kepada Allah Swt. dan Rasulul-Nya. Mungkin selama ini kita belum bisa menjaga kejernihan akal-pikiran kita; belum bisa memelihara kebersihan hati kita dari penyakit riya, ujub, sombong, ambisi jabatan, dll; belum mampu melindungi pandangan kita dari hal-hal yang haram; belum sanggup menjaga lisan kita dari ucapan-ucapan yang tidak berguna; dan belum dapat mengendalikan anggota tubuh kita dari perilaku maksiat. Mungkin selama ini kita juga sering melalaikan akad, mengkhianati amanah (terutama amanah dakwah) serta melanggar janji dan sumpah (terutama untuk taat dan patuh pada qiyâdah atas nama Allah).

Jika semua itu yang memang menjadi faktor mengapa nashrullâh, kemenangan dan Khilafah tak kunjung segera terwujud, maka tidak ada cara lain selain kita harus segera bertobat dengan tawbat[an] nashûha; kembali kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan segala kesucian jiwa-raga.

Wa mâ tawfîqî illâ billâh. (Arief B. Iskandar)

Read More......

Keagungan dan Keutamaan Jihad

Keagungan Jihad di Dalam al-Quran

Al-Quran telah menempatkan jihad pada urutan yang paling utama diantara ibadah-ibadah yang lain. Al-Quran menyatakan dengan sangat jelas, agar kaum Muslim mencintai Allah dan RasulNya, serta jihad di jalan Allah di atas cintanya kepada yang lain. Allah swt berfirman;

قُلْ إِنْ كَانَ ءَابَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ

“Katakanlah: “Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.”[al-Taubah:24]

Al-Quran juga membandingkan perbuatan-perbuatan baik di dalam Islam dengan aktivitas jihad fi sabilillah. Allah swt berfirman:

أَجَعَلْتُمْ سِقَايَةَ الْحَاجِّ وَعِمَارَةَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ كَمَنْ ءَامَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَجَاهَدَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَوُونَ عِنْدَ اللَّهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Apakah (orang-orang) yang memberi minuman kepada orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidil Haram, kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah; dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada kaum yang zalim.”[al-Taubah:19]

Al-Quran juga melebihkan mujahid (orang yang pergi berjihad) di atas orang tidak pergi berjihad. Allah swt berfirman:

لَا يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُولِي الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ عَلَى الْقَاعِدِينَ دَرَجَةً وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَى وَفَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ عَلَى الْقَاعِدِينَ أَجْرًا عَظِيمًا(95)دَرَجَاتٍ مِنْهُ وَمَغْفِرَةً وَرَحْمَةً وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

Tidaklah sama antara mu’min yang duduk (yang tidak turut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar;(yaitu) beberapa derajat daripada-Nya, ampunan serta rahmat. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. al-Nisaa’ : 95-96]

Keutamaan dan Keluhuran Jihad di Dalam Sunnah

Hadits-hadits shahih telah menuturkan keagungan dan keluhuran jihad fi sabilillah di atas amal-amal shaleh yang lain.

1. Jihad Adalah Amal Yang Paling Utama

Di dalam sebuah hadits dituturkan, bahwa Rasulullah saw telah menetapkan kedudukan jihad sebagai amal yang utama dibandingkan dengan amal-amal yang lain, setelah beriman kepada Allah swt. Bahkan, jihad ditempatkan sebagai ra’s al-’amal (pangkal dari amal). Imam Bukhari menuturkan sebuah hadits dari Abu Dzarr ra, bahwasanya ia pernah bertanya kepada Rasulullah saw:

أَيُّ الْأَعْمَالِ أَفْضَلُ قَالَ إِيمَانٌ بِاللَّهِ والْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ

Amal apa yang paling utama? Nabi saw menjawab, “Iman kepada Allah, dan jihad di jalanNya.”[HR. Bukhari] Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan, ‘Hadits ini menunjukkan bahwa jihad merupakan amal yang paling utama setelah iman kepada Allah.”[1]

2. Orang Yang Pergi Berjihad Tidak Bisa Ditandingi Oleh Orang Yang Tidak Berangkat Berjihad

Dalam riwayat lain dinyatakan, bahwa kaum Mukmin yang tidak berangkat jihad, meskipun ia berusaha dengan sungguh-sungguh melaksanakan amal kebaikan dan taqwa, dirinya tidak mampu menyamai orang yang pergi ke medan jihad. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah ra, bahwasanya para shahabat pernah bertanya kepada Rasulullah saw:

مَا يَعْدِلُ الْجِهَادَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ لَا تَسْتَطِيعُونَهُ قَالَ فَأَعَادُوا عَلَيْهِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلَاثًا كُلُّ ذَلِكَ يَقُولُ لَا تَسْتَطِيعُونَهُ وَقَالَ فِي الثَّالِثَةِ مَثَلُ الْمُجَاهِدِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ الصَّائِمِ الْقَائِمِ الْقَانِتِ بِآيَاتِ اللَّهِ لَا يَفْتُرُ مِنْ صِيَامٍ وَلَا صَلَاةٍ حَتَّى يَرْجِعَ الْمُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ تَعَالَى

Ya Rasulullah! Amal apa yang bisa menyamai jihad fi sabilillah? Nabi saw bersabda, “Kalian semua tentu tidak akan sanggup mengerjakannya.” Para shahabat pun mengulangi pertanyaannya dua atau hingga tiga kali, namun setiap diajukan pertanyaan itu, Rasulullah saw menjawab, “Kalian tidak akan mampu mengerjakannya.” Selanjutnya, pada pertanyaan yang ketiga, beliau saw bersabda, “Perumpamaan seorang mujahid di jalan Allah seperti halnya shaaim (orang yang berpuasa) yang selalu mentaati ayat-ayat Allah, dan ia tidak berhenti dari sholat dan puasanya, hingga mujahid di jalan Allah itu pulang kembali.” [HR. Muslim] Ini adalah redaksi hadits menurut versi Muslim. Sedangkan menurut versi Imam Bukhari disebutkan, “Seorang laki-laki mendatangi Rasulullah saw, dan bertanya, “Tunjukkan kepada saya, amal apa yang bisa menyamai jihad? Nabi saw menjawab, “Aku tidak mendapati amal yang bisa menyamai jihad? Kemudian beliau saw bertanya, “Apakah kamu mampu (mengerjakannya), jika seorang mujahid pergi berjihad, lalu kamu masuk ke masjidmu, kamu kerjakan sholat tanpa pernah berhenti, dan kamu kerjakan puasa tanpa pernah berbuka? Kemudian ia berkata, “Lantas, siapa yang mampu mengerjakan hal itu?” Abu Hurairah berkata, “Sesungguhnya, berperangnya seorang mujahid berapapun lamanya, niscaya akan ditulis baginya kebaikan-kebaikan.”[HR. Bukhari]

Al-Hafidz Ibnu Hajar di dalam Fath al-Baariy menyatakan, “Imam Fudlail bin ‘Iyadl mengatakan, “Hadits ini menjelaskan keagungan jihad. Sebab, puasa dan ibadah-ibadah lain yang telah disebutkan keutamaan-keutamaannya di dalam hadits ini, seluruhnya setara dengan jihad. Bahkan, semua hal mubah yang dilakukan oleh seorang mujahid sebanding dengan pahala orang yang mengerjakan sholat dan ibadah lainnya. Oleh karena itu, Rasulullah saw bersabda, “Kamu tidak akan sanggup mengerjakannya.” Sedangkan keutamaan tidak ditetapkan dengan jalan qiyas, akan tetapi ia adalah ketetapan dari Allah swt kepada siapa saja yang Ia kehendaki. Hadits ini menjadi bukti, bahwa jihad adalah seutama-utama amal secara mutlak.”[2]

Menurut Imam Nawawiy, hadits ini menunjukkan keagungan dan keutamaan jihad dibandingkan amal yang lain. Sebab, sholat, puasa, serta mentaati ayat-ayat Allah merupakan amal yang utama. Akan tetapi, Allah swt menyetarakan kedudukan seorang mujahid dengan orang yang mengerjakan sholat, puasa, dan mentaati ayat-ayatNya tanpa pernah berhenti –padahal ini tidak mungkin dilakukan oleh seorang manusiapun. Oleh karena itu, hadits ini dengan sangat jelas menunjukkan, bahwa jihad adalah seutama-utama ibadah di sisi Allah swt.[3]

3. Jihad Sebagai Wasilah Menghindarkan Siksa

Sunnah juga menjelaskan bahwa jihad fi sabilillah merupakan wasilah (media) untuk menyelamatkan diri dari api neraka dan siksa kelak di hari kiamat. Imam Bukhari menuturkan sebuah riwayat, bahwa Rasulullah saw bersabda:

مَا اغْبَرَّتْ قَدَمَا عَبْدٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَتَمَسَّهُ النَّارُ

Tidaklah akan dijilat api neraka, debu-debu yang melekat di kaki seorang hamba yang berjihad di jalan Allah.” [HR. Bukhari]

Hadits ini juga menunjukkan keutamaan dan keagungan jihad di jalan Allah swt. Ibnu al-Munayyir menyatakan, bahwa siapa saja yang kakinya berdebu karena berjihad di jalan Allah, niscaya Allah akan haramkan dirinya masuk ke dalam api neraka, baik ia berperang secara langsung maupun tidak.[4] Sebab, debu-debu yang melekat di kaki para mujahid akan menyelamatkan dirinya dari siksa api neraka. Di dalam riwayat lain dinyatakan, “Siapa saja yang kakinya berdebu karena berjihad di jalan Allah, niscaya Allah akan menjauhkan dirinya dari api neraka sejauh 1000 tahun perjalanan penunggang kuda yang berjalan cepat.”[HR. Imam al-Thabarani di dalam al-Ausath].

4. Jihad Dapat Menghapus Dosa

Di riwayat yang lain juga diceritakan mengenai keberkahan jihad fi sabilillah meskipun dilakukan sebentar; yakni dapat menghapus dosa-dosa orang yang melakukannya. Dari Ibnu ‘Aidz diriwayatkan, bahwasanya ia berkata, “Rasulullah saw keluar mendatangi jenazah seorang laki-laki. Ketika jenazah itu diletakkan, ‘Umar bin Khaththab berkata, “Jangan engkau sholatkan Ya Rasulullah! Dia itu orang fajir.” Nabi saw segera menoleh kepada orang banyak dan bertanya, “Apakah ada diantara kalian yang pernah melihat dirinya mengerjakan perbuatan Islamiy? Seorang laki-laki menjawab, “Benar, Ya Rasulullah! Ia pernah menyibukkan diri dalam jihad di jalan Allah di suatu malam.” Nabi saw pun mensholatinya, dan kemudian mengusap jenazah itu dengan tanah, seraya berkata, “Sesungguhnya, shahabatmu menduga engkau termasuk penduduk neraka, akan tetapi aku bersaksi bahwa engkau adalah penduduk surga.”[HR. Imam Baihaqiy di Sya'b al-Iimaan]; dan masih banyak lagi hadits-hadits yang memiliki pengertian yang sama.

5. Kaum Mujahid Adalah Seutama-utama Manusia

Imam Bukhari menuturkan sebuah riwayat dari Abu Sa’id al-Khudriy, bahwasanya ia berkata:

أَيُّ النَّاسِ أَفْضَلُ قَالَ رَجُلٌ يُجَاهِدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ

Rasulullah saw ditanya, siapakah orang yang mulia (utama)? Beliau menjawab, “Seorang laki-laki yang berjihad di jalan Allah.”[HR. Bukhari]

Hadits ini dengan sharih telah menjelaskan kepada kita, bahwa orang yang berjihad di jalan Allah menduduki tempat yang utama. Kaum salaf al-shaleh sangat memuliakan orang-orang yang dimuliakan Allah swt. Mereka berlomba-lomba untuk memuliakan dan menghormati orang yang berjihad di jalan Allah swt. Di dalam kitab al-Sair al-Kabiir dituturkan sebuah riwayat dari Mujahid (beliau adalah seorang tabi’in dan termasuk muridnya Ibnu Umar), bahwasanya ia (Mujahid) berkata, “Saya hendak pergi berjihad”. Mendengar ini, Ibnu Umar segera menuntun kudaku!! Aku pun melarang dirinya melakukan hal itu. Namun, ia berkata, “Apakah kamu tidak suka aku mendapatkan pahala? Sungguh, telah sampai berita kepada kami (Ibnu ‘Umar) bahwa orang yang membantu kaum Mujahid, maka kedudukannya diantara penduduk dunia tak ubahnya dengan kedudukan Malaikat Jibril diantara penduduk langit.”[5]


[1] Al-Hafidz Ibnu Hajar, Fath al-Baariy, juz 5/149

[2] Al-Hafidz Ibnu Hajar, Fath al-Baariy, juz 5/6

[3] Imam Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, juz 8/ 82-83

[4] al-Hafidz Ibnu Hajar, Fath al-Baariy, juz 6/29-30

[5] al-Sair al-Kabiir, juz 1/30

Read More......

Tuesday, January 20, 2009

Kewajiban Terikat Dengan Jamaah Kaum Muslim

Orang-orang dulu bertanya kepada Rasulullah tentang kebaikan, sedangkan aku (Hudzaifah bin al-Yaman) bertanya tentang keburukan karena takut keburukan itu akan menghampiriku.
Aku bertanya,“Wahai Rasulullah, sesungguhnya dulu kami dalam kejahiliahan dan keburukan, lalu Allah mendatangkan kebaikan ini kepada kami. Apakah setelah kebaikan ini akan ada keburukan?” Beliau menjawab, “Benar.”
Aku bertanya,“Apakah setelah keburukan itu akan ada kebaikan?” Beliau menjawab,“Benar, namun di dalamnya terdapat asap.”
Aku bertanya, “Apa asapnya?” Beliau menjawab, “Kaum yang memberi petunjuk dengan selain petunjukku, engkau mengetahui (kebaikan mereka) dan mengingkari (keburukan mereka)”
Aku bertanya, “Apakah setelah kebaikan itu akan ada keburukan?” Beliau menjawab, “Benar, para penyeru yang menyeru ke pintu-pintu jahanam; siapa saja yang memenuhi seruan mereka, mereka akan menjerumuskan dan menenggelamkannya ke dalamnya.” Aku berkata, “Tunjukkanlah sifat mereka kepada kami.” Beliau bersabda, “Mereka berkulit sama dengan kulit kita dan berbicara dengan bahasa kita.”
Aku bertanya, “Lalu apa yang engkau perintahkan kepadaku jika hal itu menghampiriku?” Beliau menjawab, “Berpeganglah pada jamaah kaum Muslim (jamâ‘ah al-muslimîn) dan imam mereka!”
Aku bertanya, “Jika mereka tidak memiliki jamaah dan imam?” Beliau menjawab, “Jauhilah semua kelompok-kelompok itu sekalipun engkau harus menggigit akar pohon hingga kematian menghampirimu, sedangkan engkau tetap dalam keadaan seperti itu.”
(HR al-Bukhari dan Muslim).

Imam al-Bukhari mengeluarkan hadis di atas dalam Shahîh al-Bukhârî bab “Kayfa al-Amr idzâ lam Takun Jamâ‘ah.” Imam Muslim mengeluarkannya dalam Shahîh Muslim bab “Wujûb Mulâzamah Jamâ‘ah al-Muslimîn tsumma Zhuhûr al-Fitan wa fî Kulli Hâl wa Tahrîm al-Khurûj ‘alâ ath-Thâ’ah wa Mufâraqah al-Jamâ’ah.”

Imam al-Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkannya berturut-turut dari Muhammad bin Mutsanna, dari al-Walid bin Muslim dari Ibn Jabir—dalam riwayat Muslim dijelaskan bahwa Ibn Jabir adalah Abdurrahman bin Yazid bin Jabir, dari Busr bin Ubaidillah al-Hadhrami, dari Abu Idris al-Khaulani yang mendengarnya dari Hudzaifah bin al-Yaman berkata.

Imam al-Bukhari juga mengeluarkannya dalam bab “‘Alâmât an-Nubuwwah fî al-Islâm,” dari Yahya bin Musa, dari al-Walid, dari Ibn Jabir, dan seterusnya sama dengan sanad di atas.

Frasa kunnâ fî jâhiliyyah wa syarr (kami dulu berada dalam kejahiliahan dan keburukan) menunjuk pada keadaan sebelum datangnya Islam. Maksudnya, dulu mereka hidup dalam kejahiliahan, yaitu hidup dengan sistem selain Islam/sistem kufur dan dilingkupi keburukan.

Lalu datang khayr (kebaikan), yaitu Islam, keimanan, serta kondisi yang baik hidup di bawah sistem Islam dan jauh dari segala macam kekejian.

Setelahnya akan ada syarr (keburukan).? Para ulama seperti Qadhi ‘Iyadh, Ibn Hajar, dan yang lainnya menunjuk syarr setelah kebaikan yang pertama itu adalah pembunuhan Utsman dan fitnah akibat pembunuhan itu.

Setelah itu akan ada khayr wa fîhi dakhanun (kebaikan, namun disertai dengan asap).? Dakhanun (asap) itu adalah dendam, bencana, atau fasad dalam hati.? Sebagian ulama menunjuk khayr ini adalah masa Umar bin Abdul Aziz. Ibn Hajar menunjuk khayr itu adalah berkumpulnya (kaum Muslim) bersama Ali dan Muawiyah. Frasa tersebut mengisyaratkan bahwa khayr sesudah syarr pertama itu tidak lagi khayr yang murni dan jernih; di dalamnya terdapat kekeruhan, Lumpur, atau kotoran. Ini mengisyaratkan bahwa pelaksanaan sistem dalam tahap ini diwarnai dengan penyimpangan atau keburukan di satu atau beberapa bagian.?

Selanjutnya Rasul saw. menjelaskan, dakhanun itu adalah kaum yang memberi petunjuk dengan selain petunjuk Rasul.? Dalam riwayat al-Baihaqi dikatakan: qawm yastannûna bi ghayr sunnatî wa yahdûna bi ghayr hadî (kaum yang berjalan mengikuti selain jalan dan langkahku serta memberi petunjuk dengan selain petunjukku). Artinya, asap yang menjadikan keruhnya keadaan khayr yang kedua ini adalah dua kelompok.

Pertama: orang-orang yang tidak mengikuti jejak langkah Rasul. Mereka mengikuti manhaj, system, dan aturan selain Islam.
Kedua: mereka yang memberi petunjuk dengan selain Islam; bisa berupa sistem, aturan, manhaj, pemikiran, dan falsafah selain Islam—semisal pemikiran Yunani, Persia, Romawi, Hindu dan sebagainya.

Namun, kedua kelompok ini berada di bawah khayr (sistem Islam). Hal ini lebih menguatkan isyarat bahwa setelah keburukan pertama, sistem Islam tetap ada dan berjalan, namun terdapat penyimpangan dan keburukan di satu atau beberapa bagian sejarahnya.

Selanjutnya ta‘rifu minhum dan tunkiru (engkau mengenal [kebaikan] mereka dan mengingkari [keburukan mereka]).? Menurut Qadhi ‘Iyadh, mereka adalah para pemimpin sesudah khayr yang kedua (sebagian ulama menilai sesudah Umar bin Abdul Aziz). Di antara mereka ada yang berpegang pada Sunnah dan berlaku adil, ada juga yang mengajak pada bid‘ah dan berlaku zalim.

Setelah tahapan khayr kedua ini akan ada syarr, yaitu para penyeru yang mengajak ke pintu-pintu neraka. Mereka akan menjerumuskan dan menenggelamkan siapa saja yang memenuhi ajakan dan seruan mereka ke neraka Jahanam.? Mereka, dalam kelanjutan hadis ini, disebut sebagai firqah-firqah yang harus dijauhi. Artinya, mereka adalah firqah-firqah, kelompok, jamaah, partai, organisasi, atau yang lainnya yang berdiri di atas landasan selain Islam; tidak mengemban misi Islam; dan menyerukan selain Islam.? Mereka bisa saja berjamaah berlandaskan kemslahatan semata, kesombongan, ataupun nafsu untuk meraih kekuasaan; ataupun jamaah yang berdiri berasaskan ide-ide atau ideologi kufur seperti sosialisme dan kapitalisme-sekulerisme—dalam rangka untuk meraih kekuasaan dan pemerintahan agar ide dan ideologi mereka bisa diterapkan di tengah-tengah masyarakat.? Mereka bisa juga jamaah yang berdiri atas dasar sektarianisme, kedaerahan, nasionalisme, atau pemikiran dan asas apapun selain Islam. Mereka inilah yang harus dijauhi seperti yang diperintahkan dalam hadis di atas. Sebab, mereka mengemban kebatilan dan berjamaah berlandaskan kebatilan.? Mereka mengemban keharaman dan melaksanakan aktivitas yang diharamkan.? Balasan semua itu tidak lain adalah neraka Jahanam. Mereka tentu akan menjerumuskan dan menenggelamkan siapa saja yang menyambut dan memenuhi ajakan mereka ke dalam neraka Jahanam.

Mereka min jildatinâ wa yatakallamûna bi alsinatinâ (berkulit sama dengan kita dan berbicara dengan bahasa kita).? Mereka berasal dari kaum kita dan menggunakan bahasa kita. Menurut Al-Qabisi, maksudnya adalah mereka itu lahiriahnya berada di atas millah (agama/sistem hidup) kita, namun dalam batin mereka menyalahinya. Artinya, mereka secara lahiriah beragama Islam, namun menyerukan keyakinan, pemikiran, konsepsi, system, atau ideologi selain Islam.

Dalam kondisi tersebut Rasul saw. memerintahkan kita agar berpegang pada jamâ‘ah al-muslimîn dan Imam mereka, yakni Khalifah. Ini adalah perintah untuk terikat dengan Islam dan bergabung dengan kelompok yang terikat dengan Islam, berdiri di atas landasan Islam, mengemban misi Islam, serta menyerukan akidah, pemikiran, konsepsi, sistem aturan, hukum dan ideologi Islam.

Jika tidak ada jama‘âh al-muslimîn dan Khalifah mereka, seperti saat ini, maka Rasul memerintahkan agar kita menjauhi semua firqah (kelompok) yang disifati di atas, yaitu kelompok yang berdiri atas dasar selain Islam, mengemban misi selain Islam, dan menyerukan keyakinan, pemikiran, konsepsi, sistem dan ideologi selain Islam. Hal itu harus dilakukan dengan teguh, penuh kesungguhan, meskipun berat dan banyak menghadapi kesulitan. Rasul mengungkapkannya dengan kiasan “menggigit akar pohon dengan geraham sampai kematian datang menjemput”.

Perintah menjauhi firqah (kelompok) itu adalah terhadap kelompok yang disifati dalam hadis di atas, dan tidak mencakup kelompok yang berdiri atas dasar Islam, mengemban misi Islam, melakukan amar makruf dan nahi mungkar, serta beraktivitas untuk mewujudkan khayr (kebaikan) sebagaimana kebaikan tahap pertama, dengan mewujudkan satu Khalifah bagi seluruh kaum Muslim dan menegakkan Khilafah yang mengikuti metode kenabian (Khilâfah ‘alâ minhâj an-nubuwwah) yang akan menerapkan Islam secara keseluruhan baik akidah maupun syariatnya. Kelompok yang demikian justru wajib diwujudkan dan didukung bersama. (QS Ali Imran [3]: 104). Wallâh a‘lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman].

Read More......

Wednesday, January 14, 2009

Iman, Hijrah, dan Jihad

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللهِ أُولَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَةَ اللهِ وَاللهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman serta orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS al-Baqarah [2]: 218).


Sabab Nuzul

Dikeluarkan Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, ath-Thabarani, dan al-Baihaqi dalam sunan-nya dengan sanad yang sahih dari Jundub bin Abdullah, bahwa Nabi saw. pernah mengutus sekelompok orang, dengan Abu Ubaidah bin al-Jarrah atau Ubaidah bin al-Harits sebagai pemimpin mereka. Ketika berangkat, dia menangis karena besarnya rasa rindu dan cintanya kepada Nabi saw. Kemudian Nabi saw. mengutus Abdullah bin Jahsy untuk menggantikan kedudukannya. Beliau menulis surat untuknya dan memerintahkan agar tidak dibaca hingga tiba di suatu tempat. Beliau bersabda, “Janganlah kamu memaksa seorang pun dari temanmu untuk berjalan bersamamu.”

Ketika surat itu dibaca, Abdullah bin Jahsy mempersilakan mereka pulang dan berkata, “Taatilah Allah dan Rasul-Nya.”

Lalu Ibn Jahsy menyampaikan informasi dan membacakan surat itu kepada mereka. Ada dua orang yang pulang, sementara yang lain tetap bersamanya. Setelah itu mereka bertemu dengan Ibnu al-Hadhrami dan berhasil membunuhnya. Mereka tidak mengetahui apakah itu bulan Rajab atau Jumadil akhir. Terhadap kejadian itu, kaum musyrik berkata kepada kaum Muslim, “Kalian telah membunuh di bulan haram.”

Lalu Allah Swt. menurunkan QS al-Baqarah [2]: 217. Sebagian mereka berkata, “Apabila mereka tidak mendapatkan dosa, berarti mereka tidak mendapatkan pahala.”

Lalu turunlah ayat ini (QS al-Baqarah [2]: 218).1


Tafsir Ayat

Allah Swt. berfirman: Inna al-ladzîna âmanû (Sesungguhnya orang-orang yang beriman). Ayat ini diawali dengan penyebutan orang-orang yang beriman. Secara bahasa, kata al-îmân berarti at-tashdîq (membenarkan).2 Secara syar’i, al-îmân adalah at-tashdîq al-jâzim al-muthâbiq li al-wâqi’ ‘an dalîl (pembenaran yang pasti, sesuai dengan kenyataan, bersumber dari dalil).3 Karena itu, frasa al-ladzîna âmanû menunjuk kepada orang-orang yang memiliki sifat iman itu.

Sebenarnya, kata âmanû tergolong sebagai al-fi’l al-muta’addî (kata kerja yang membutuhkan mafûl bih atau obyek). Ketika obyeknya tidak disebutkan, maka dapat dipahami bahwa keimanan mereka bersifat mutlak. Perkara yang mereka imani meliputi semua perkara akidah yang wajib diimani. Jika ada sebagian perkara akidah yang diingkari, mereka tidak lagi disebut sebagai al-ladzîna âmanû (orang-orang yang beriman). Sebab, dalam QS an-Nisa’ [4]: 150-151 ditegaskan, orang-orang yang menyatakan beriman terhadap sebagian dan ingkar terhadap sebagian lainnya adalah orang-orang kafir yang sebenar-benarnya (al-kâfirûna haqq[an]).

Di samping beriman, mereka juga berhijrah. Allah Swt. berfirman: wa al-ladzîna hâjarû (orang-orang yang berhijrah). Dijelaskan al-Baidhawi, pengulangan ism al-mawshûl di sini menunjukkan keagungan hijrah dan jihad sehingga seolah secara mandiri dapat merealisasikan ar-rajâ’ (harapan).4

Menurut al-Qurthubi dan asy-Syaukani, al-hijrah bermakna al-intiqâl min mawdhû’[in] ilâ mawdhû’[in], wa taraka al-awwal li îtsâr ats-tsânî (berpindah dari suatu keadaan ke keadaan lain dan meninggalkan yang pertama karena mengutamakan yang kedua).5 Ibnu Manzhur juga menyatakan bahwa hijrah berarti al-khurûj min ardh ilâ ardh (keluar dari suatu negeri ke negeri lainnya).6

Adapun secara syar’i, hijrah berarti al-khurûj min dâr al-kufr ilâ dâr al-Islâm (keluar dari negara kufur ke Negara Islam).7 Di antara dalil yang melandasinya adalah Hadis Nabi saw.:

لاَ هِجْرَةَ بَعْدَ فَتْحِ مَكَّةَ

Tidak ada hijrah setelah Penaklukan Makkah (HR al-Bukhari dari Mujalid bin Mas’ud).

Sebelum ditaklukkan, Makkah merupakan dâr al-kufr. Saat itu, perpindahan dari Makkah ke Madinah disebut sebagai hijrah. Namun ketika sudah ditaklukkan, Makkah berubah statusnya menjadi bagian dari dâr al-Islâm. Hadis ini menjelaskan, sesudah penaklukan, perpindahan dari Makkah ke Madinah tidak lagi dianggap sebagai hijrah. Ketentuan ini tidak hanya berlaku bagi Makkah, namun juga bagi semua negeri yang telah ditaklukkan oleh Daulah Islam. Dalam hadis al-Bukhari dari Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Umar digunakan ungkapan yang bersifat umum: Lâ hijrah ba’da al-fath (tidak ada hijrah sesudah Penaklukan).

Bertolak dari hadis ini, dapat disimpulkan bahwa istilah hijrah menunjuk pada perpindahan dari dâr al-kufr ke dâr al-Islâm.

Selain itu, mereka juga berjihad di jalan Allah. Allah Swt. berfirman: wa jâhadû fî sabîlil-Lâh (dan berjihad di jalan Allah). Secara bahasa, kata al-jihâd berarti mengerahkan segala kemampuan. Dalam pengertian syar’i, al-jihâd menunjuk secara khusus pada makna perang. Dengan demikian, jihad fi sabilillah adalah mengerahkan segala kemampuan dalam perang di jalan Allah, baik secara langsung maupun memberikan bantuan berupa harta, pendapat, memperbanyak logistik, atau lainnya.8

Ibnu Jarir ath-Thabari pun memaknai kata jâhadû dalam ayat ini dengan qâtalû wa hârabû (mereka berperang). 9 Dipaparkan ath-Thabari, kata sabîlil-Lâh berarti tharîqatihi wa dînihi.10

Al-Khazin dan as-Samarqandi memaknai fî sabîlil-Lâh dengan fî thâ’atil-Lâh (dalam ketaatan kepada Allah).11

Siapa saja yang mengamalkan tiga perkara itu bisa mengharapkan rahmat-Nya. Allah Swt. berfirman: ulâika yarjûna rahmatal-Lâh (mereka itu mengharapkan rahmat Allah). Menurut az-Zuhaili, yang dimaksud dengan rahmatal-Lâh adalah tsawâbahu (pahala-Nya).12 Adapun kata yarjûna mengandung pujian terhadap mereka. Sebab, tidak seorang pun di dunia yang mengetahui bahwa dia akan kembali ke surga meskipun sudah melakukan ketaatan paling puncak.13 Menurut al-Qurthubi dan az-Zuhaili, hal itu disebabkan karena dua alasan. Pertama: dia tidak mengetahui bagaimana akhir kehidupannya. Kedua: agar dia tidak bersandar pada amalnya semata.14

Penjelasan senada juga disampaikan Abdurahman as-Sa’di. Menurutnya, frasa ini mengisyaratkan bahwa seorang hamba—sekalipun sudah melakukan berbagai amal—tidak seyogyanya bergantung dan percaya pada amalnya. Akan tetapi, dia harus berharap akan rahmat-Nya, diterima semua amalnya, diampuni semua dosanya, dan ditutup semua aibnya.15

Masih menurut as-Sa’di, ayat ini menjadi dalil bahwa ar-rajâ’ atau harapan itu tidak terjadi kecuali sesudah mengerjakan sebab-sebab kebahagiaan. Adapun harapan yang disertai dengan kemalasan dan tidak melakukan sebab-sebab kebahagiaan, maka itu adalah kelemahan, angan-angan, dan fatamorgana. Itu juga menunjukan lemahnya tekad dan kurangnya akal pelakunya, seperti halnya seseorang yang mengharapkan anak tanpa menikah atau mendapatkan panen tanpa menabur benih.16

Dijelaskan oleh al-Qurthubi, ar-rajâ’ (harapan) harus senantiasa diiringi dengan al-khawf (takut), sebagaimana al-khawf juga harus disertai dengan ar-rajâ’.17

Lebih dari itu, sebagaimana dinyatakan asy-Syaukani, kadangkala kata ar-rajâ’ juga bermakna al-khawf, seperti dalam QS Nuh [71]: 13. Kata lâ tarjûna dalam ayat tersebut bermakna lâ takhâfûna (mereka tidak takut) akan kebesaran Allah.18

Ayat ini kemudian diakhiri dengan firman-Nya: Wal-Lâh Ghafûr[un] Rahîm[un] (Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang). Allah Ghafûr, mengampuni dosa-dosa dan kesalahan hamba-Nya apabila mereka mati dalam keadaan iman. Allah Rahîm, memberikan rahmat-Nya yang tak terbatas kepada hamba-Nya.

Ayat ini juga menjadi dalil, siapa pun yang melakukan ketiga amal tersebut akan mendapatkan ampunan dari-Nya, selain mendapatkan rahmat-Nya. Ketika mendapatkan maghfirah berarti dia tidak akan ditimpa hukuman di dunia maupun di akhirat. Tatkala mendapatkan rahmat, maka dia memperoleh segala kebaikan di dunia dan akhirat.19


Iman, Hijrah dan Jihad

Ayat ini menjelaskan tiga perkara penting yang dapat memberikan harapan kepada pelakunya untuk memperoleh rahmat-Nya. Jika kita telusur, ketiga perkara itu memiliki keterkaitan yang erat satu sama lain. Pertama: iman (akidah). Iman/akidah merupakan perkara mendasar yang menjadi penentu status seseorang, apakah Mukmin atau kafir. Status tersebut akan menentukan nasibnya di dunia dan akhirat. Orang kafir disebut sebagai seburuk-buruknya makhluk (lihat QS al-Bayyinah [98]: 6), bahkan seburuk-buruknya binatang. Seluruh amalnya terhapus dan sia-sia (lihat QS al-Anfal [8]: 55). Neraka ditetapkan sebagai tempat kembalinya (lihat QS al-Bayyinah [98]: 6). Sebaliknya, orang yang beriman—disertai dengan beramal shalih—dinyatakan sebagai sebaik-baiknya makhluk (lihat QS al-Bayyinah [98]: 7). Mereka diberi balasan surga yang penuh dengan aneka kenikmatan (lihat QS al-Bayyinah [98]: 8).

Patut dicamkan, iman/akidah menuntut pembuktian dari pelakunya. Bukti itu adalah keterikatan pelakunya dengan syariah-Nya. Syahadat sebagai pintu masuk Islam amat jelas menunjukkan pengertian demikian. Kandungan syahadat pertama meniscayakan bahwa Allah adalah satu-satunya Ilâh, yakni Zat Yang berhak ditaati segala perintah dan larangan-Nya. Dialah Pemilik otoritas yang berhak membuat hukum, menetapkan yang halal dan yang haram atas segala sesuatu. Konsekuensinya, satu-satunya hukum yang wajib ditaati dan diterapkan hanyalah syariah-Nya. Syahadat kedua membatasi, bahwa syariah yang wajib kita taati adalah yang diturunkan kepada Rasulullah saw. Dengan demikian, setiap orang yang mengaku beriman wajib menerapkan syariah Islam itu secara total, baik dalam ruang privat maupun publik; baik dalam kehidupan invidu maupun bernegara.

Kedua: hijrah. Hijrah termasuk dalam amal yang disyariahkan. Namun, patut dicatat, amal hijrah ini sesungguhnya terkait erat dengan pelaksanaan syariah. Ini bisa disimpulkan dari fakta hukum hijrah. Hijrah wajib bagi orang yang mampu berhijrah, tidak bisa menampakkan agamanya, dan tidak bisa menjalankan hukum syariah yang dituntut untuk dilaksanakan. Apabila mereka masih bisa menampakkan agamanya dan menjalankan hukum syariah yang dituntut kepadanya, hijrah tidak lagi wajib bagi mereka, namun sunnah. Lebih dari itu, jika kaum Muslim memiliki kemampuan mengubah negerinya menjadi Dâr al-Islâm, justru diharamkan bagi mereka berhijrah. Mereka justru dituntut mengubah negaranya menjadi daulah Islam.20 Fakta hukum ini menunjukkan secara jelas bahwa kewajiban hijrah terkait erat dengan pelaksanaan syariah.

Hijrah yang dilakukan Rasulullah saw. dan para Sahabatnya juga menunjukkan kesimpulan tersebut. Sebelum hijrah, Beliau telah mengajak berbagai kabilah di Makkah dan sekitarnya untuk masuk Islam, termasuk memita nushrah (pertolongan) kepada mereka agar menyerahkan kekuasaan mereka kepada Beliau. Namun, berbagai kabilah itu menolaknya, bahkan ada yang menolaknya dengan kasar. Pada akhirnya, Beliau bertemu dengan kabilah ‘Aus dan Khazraj dari Madinah yang mau menerima Islam. Setelah Baiat ‘Aqabah II, yang berisi penyerahan kekuasaan mereka kepada Rasulullah saw., Beliau dan para Sahabatnya berhijrah ke Madinah. Di kota itulah Rasulullah saw. membangun negara yang menerapkan syariah Islam secara total.

Hijrah bermakna keluar dari dâr al-kufr ke dâr al-Islâm. Ini berarti, kewajiban berhijrah meniscayakan tegaknya Daulah Islam terlebih dulu. Sebab, bagaimana mungkin bisa berhijrah, sementara Dâr al-Islâm yang menjadi tujuan hijrahnya belum ada? Karena itu, ketika Dâr al-Islâm belum ada, umat Islam harus berkonsentrasi untuk mewujudkannya. Jelaslah, akidah menuntut pelakunya untuk berjuang menegakkan Daulah Islam dalam kehidupan.

Ketiga: jihad. Kaum Mukmin tidak boleh puas dan berhenti ketika syariah telah diterapkan dalam negara yang mereka tinggali. Mereka diwajibkan untuk mengemban dakwah dan menyebarkan Islam ke seluruh dunia. Inilah yang harus dijadikan sebagai landasan politik luar negeri bagi daulah Islam. Untuk menjalankannya, jihad ditetapkan sebagai tharîqah atau metodenya.

Patut dicatat, kewajiban jihad baru boleh dilancarkan manakala penduduk suatu negeri menolak salah satu dari dua tawaran: masuk Islam atau menjadi kafir dzimmi yang tunduk pada pemeritahan Islam. Ketika menolak salah satunya, berarti mereka telah menjadi rintangan fisik yang menghalangi dakwah Islam. Untuk menghilangkan rintangan fisik itu, harus dengan aktivitas fisik pula, yakni dengan jihad fi sabilillah. Apabila negeri itu berhasil ditaklukkan dengan jihad, maka statusnya berubah menjadi bagian dari Dar al-Islam. Syariah pun diterapkan secara total di negeri itu.

Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []

Catatan kaki:

  1. As-Suyuthi, Ad-Durr al-Mantsûr, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), 448; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 1, 274.
  2. Abdul Qadir ar-Razi, Mukhtâr ash-Shihhah (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), 50.
  3. Taqiyuddin an-Nabahani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, vol. 1 (Beirut: Dar a;-Ummah, 2003), 29.
  4. Al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta’wîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998), 118. Penjelasan senada juga disampaikan al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 2 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 506.
  5. Al-Quthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 34; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 1, 273; al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1989), 438.
  6. Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, vol. 5 (Beirut: Dar al-Shadir, tt), 250.
  7. Taqiyuddin an-Nabahani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, vol. 2 (Beirut: Dar al-Ummah, 2003), 266. Pandangan senada juga disampaikan as-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 1, 273; al-Qinuji, Fath al-Bayân, vol. 1, 438; Ar-Raghib al-Asfahani, Mu’jam Mufrdât Alfâzh al-Qur’ân (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 534.
  8. Taqiyuddin an-Nabahani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, vol. 2, 147.
  9. Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 2, 368.
  10. Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 2, 368.
  11. Al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fi Ma’âni at-Tanzîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 147; as-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. 1, 202
  12. Wahbah az-Zuhayli, At-Tafsîr al-Munîr, vol. 1, 258.
  13. Al-Quthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 3 34; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 1, 274; Wahbah az-Zuhayli, At-Tafsîr al-Munîr, vol. 1, 269.
  14. Al-Quthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 3 34; az-Zuhayli, At-Tafsîr al-Munîr, vol. 1, 269.
  15. As-Sa’di, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al-Mannân, vol. 1 (Beirut: Alam al-Kutub, 1993), 195.
  16. As-Sa’di, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân, vol. 1, 195.
  17. Wahbah al-Zuhayli, al-Tafsîr al-Munîr, vol. 1, 269.
  18. Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 1, 274.
  19. As-Sa’di, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân, vol. 1, 195.
  20. Taqiyuddin al-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, vol. 2, 269.

Read More......
 

Home | Blogging Tips | Blogspot HTML | Make Money | Payment | PTC Review

Bergerak Berkali-Kali coz Mati hanya sekali!! © Template Design by Herro | Publisher : Templatemu