Friday, May 23, 2008

Rekrutmen AKBAR

Read More......

Thursday, May 22, 2008

Undangan Aksi Damai : Tolak Kenaikan Harga BBM


Pernyataan HTI :
http://www.hizbut-tahrir.or.id/2008/05/13/pers-release-menolak-kenaikan-bbm-2008/

Tahukah Anda :
http://www.hizbut-tahrir.or.id/al-islam/index.php/2008/05/07/menaikkan-harga-bbm-di-tengah-penderitaan-rakyat/
http://www.hizbut-tahrir.or.id/al-islam/index.php/2008/05/14/tolak-kenaikan-harga-bbm-2008/

Read More......

Semua Hizb Terlarang ?

[Tafsir QS al-Mukminun [23]: 52-54]

وَإِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاتَّقُونِ، فَتَقَطَّعُوا أَمْرَهُمْ بَيْنَهُمْ زُبُرًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ، فَذَرْهُمْ فِي غَمْرَتِهِمْ حَتَّى حِينٍ

Sesungguhnya (agama tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah kepada-Ku. Kemudian mereka (pengikut-pengikut rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing). Maka biarkanlah mereka dalam kesesatannya sampai suatu waktu. (QS al-Mukminun [23]: 52-54)


Tafsir Ayat

Allah Swt. berfirman: Wa inna hâdzihi ummatukum ummat[an] wâhidat[an]. Menurut al-Asfahani, ummah adalah setiap jamaah yang dipersatukan oleh suatu perkara, baik perkara itu berupa agama, zaman, atau tempat yang sama; yang bersifat paksaan atau pilihan.1 Namun, kata ummah juga sering digunakan untuk menunjukkan perkara yang menjadi aspek pemersatunya (Lihat, misalnya, QS az-Zukhruf [43]: 22).

Kata ummah dalam ayat tersebut bermakna ad-dîn. An-Nasafi, asy-Syaukani, Ibnu ‘Athiyah, al-Baidhawi, al-Qasimi, dan banyak mufassir lainnya menafsirkan kata ummah dalam ayat ini dengan millah atau syarî‘ah.2 Al-Qurthubi dan Ibnu Juzyi juga memaknainya ad-dîn.3

Lalu dhamîr mukhâthab jama‘ (kum) terkait dengan seruan dalam ayat sebelumnya: Yâ ayyuhâ ar-rusul, kulû min ath-thayyibât (Wahai para rasul, makanlah makanan yang baik-baik). Dengan demikian, ayat ini memberitahukan kepada para rasul—dan seluruh umatnya—bahwa ummah atau millah mereka itu adalah millah wâhidah (agama yang satu).4

Jika dikaitkan dengan beberapa ayat sebelumnya, penafsiran tersebut amat relevan. Dalam ayat sebelumnya, diberitakan mengenai diutusnya para rasul yang berturutan (ayat 44), kisah Nabi Musa as (ayat 45-49), dan Nabi Isa as (ayat 50). Semua rasul itu diperintahkan Allah Swt. dengan perintah yang sama, yakni diwajibkan untuk makan dengan makanan yang thayyib (halal) dan beramal salih (QS al-Mukminun [23]: 51). Kesamaan perintah itu menunjukkan bahwa millah atau dîn mereka adalah satu. Agama para rasul itu memerintahkan manusia untuk beribadah kepada Allah Swt dan tunduk pada syariah-Nya, sekalipun dalam rincian syariahnya bisa berbeda-beda (QS al-Maidah [5]: 48). Menurut ar-Razi, perbedaan rincian syariah itu tidak bisa disebut sebagai ikhtilâf fî ad-dîn (perbedaan dalam agama). Walaupun dalam taklif hukumnya ada yang berbeda, agama para rasul tetap satu. Allah Swt. menegaskannya dalam QS asy-Syura [42]: 13.

Allah Swt. lalu berfirman: Wa Anâ Rabbukum fattaqûn (dan Aku adalah Tuhan kalian. Karena itu, bertakwalah kalian kepada-Ku). Ditegaskan bahwa Allah adalah Tuhan seluruh manusia. Konsekuensinya, mereka wajib menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Penegasan itu menunjukkan, akidah agama semua rasul itu sama. Ar-Razi menyatakan, kalimat wa Anâ Rabbukum fattaqûn menunjukkan bahwa agama semua rasul itu adalah satu, yakni dalam perkara yang berkaitan dengan ma‘rifatullâh dan takut bermaksiat kepada-Nya.5

Pada awalnya agama para rasul itu memang satu sehingga mereka merupakan satu umat. Namun, pada masa sesudahnya mereka menjadi umat yang berpecah-belah. Perpecahan itu disebabkan oleh ulah sebagian orang yang sengaja merusak agamanya. Realitas ini dijelaskan dalam ayat sesudahnya: fataqaththa‘û amrahum baynahum zubur[an] (kemudian mereka terpecah-belah dalam urusannya menjadi beberapa golongan).

Kata taqaththa‘û artinya tafarraqû (berpecah belah).6 Kata tersebut mengandung makna mubâlaghah untuk menunjukkan parahnya perbedaan mereka.7 Dhamîr wâwu al-jamâ‘ah (mereka) dalam kata taqaththa’û merujuk kepada umat-umat para rasul.8 Adapun kata amrahum dalam frasa ini bermakna dînahum (agama mereka) atau segala sesuatu yang berkaitan dengan agama.9 Dengan demikian, frasa ini memberikan pengertian, agama Allah Swt. adalah satu, kemudian mereka membuatnya menjadi banyak agama yang berbeda-beda.10 Realita ini juga diungkap dalam QS al-Anbiya’ [21]: 92-93.

Sementara itu, kata zubur[an], menurut Qatadah, ath-Thabari, an-Nasafi, dan Mahmud Hijazi bermakna kutub (kitab-kitab) yang dibuat dan disusun.11 Artinya, mereka berpecah-belah dalam berbagai agama. Masing-masing kelompok menyusun kitabnya sendiri-sendiri, berpegang teguh padanya, dan ingkar terhadap kitab-kitab selainnya.12

Menurut al-Alusi, al-Baidhawi, al-Wahidi, al-Khazin, dan asy-Syaukani, kata zubur[an] merupakan bentuk jamak dari kata zabûr yang berarti qith‘ah atau firqah (kelompok, golongan).13 Karena itu, zubur bermakna firaq (kelompok-kelompok). Artinya, para pengikut rasul yang sebelumnya memeluk agama yang sama itu kemudian berpecah-belah menjadi banyak firqah, kelompok, atau hizb. Masing-masing kelompok dan golongan itu memiliki karakter yang sama, yakni: Kullu hizb[in] bimâ ladayhim farihûn (Setiap golongan [merasa] bangga dengan apa yang ada pada mereka masing-masing).

Secara bahasa, kata al-hizb berarti jamâ‘ah min an-nâs (kelompok dari manusia).14 Frasa bermakna bimâ ladyhim adalah dîn mereka; juga kitab, hawa nafsu, atau pendapat mereka.15 Kata farihûn berarti masrûrûn, mu‘jibûn, râdhûn (senang, kagum dan ridha).16 Maknanya, masing-masing kelompok dan golongan itu merasa bangga dengan agama mereka yang sesat. Mereka tidak merasa berada dalam kesesatan. Bahkan sebaliknya, mereka merasa berada di atas kebenaran (‘alâ al-haqq).

Jika mereka bersikukuh dengan sikapnya sekalipun sudah mendapatkan petunjuk dan penjelasan yang benar, Allah memerintahkan Rasul-Nya untuk bersikap tegas terhadap mereka: fadzarhum fî ghamratihim hattâ hîn (Karena itu, biarkanlah mereka dalam kesesatannya sampai waktu yang ditentukan). Khithâb ayat ini ditujukan kepada Rasulullah saw. Beliau diperintahkan untuk membiarkan orang-orang yang memecah-belah agama Allah Swt. dalam kebodohan dan kesesatan. Pada asalnya, kata ghamrah berarti as-sitr (tutup). Kata tersebut juga digunakan untuk menunjukkan al-jahl wa adh-dhalâl (kebodohan dan kesesatan).17

Yang dimaksud dengan kata hattâ hîn (sampai waktu yang ditentukan) adalah waktu yang telah ditentukan Allah Swt., yang sama sekali tidak bisa mereka elakkan. Menurut para mufassir, ungkapan tersebut berarti waktu mereka terbunuh, mati, atau turunnya azab.18


Tidak Semua Hizb Terlarang

Potongan ayat ini: Kullu hizb[in] bimâ ladayhim farihûn (QS al-Maidah [5]: 53) dijadikan dasar oleh sebagian orang untuk mengharamkan keberadaan semua hizb. Alasannya, semua hizb memiliki karakter yang sama, yakni berbangga terhadap pemikiran atau pendapat yang mereka miliki. Kebanggan dan kekaguman itu merupakan bibit munculnya sikap ashabiyyah kelompok, yang pada gilirannya dapat merusak persatuan Islam. Aneka pertikaian antarkelompok berawal dari sikap tersebut. Oleh karena itu, menurut mereka, keberadaan semua hizb itu terlarang, sekalipun hizb itu memperjuangkan Islam.

Penggunaan ayat ini untuk mengharamkan keberadaan hizb jelas tidak tepat. Setidaknya ada tiga alasan yang menunjukkan kesalahan pendapat tersebut. Pertama: Dari segi bentuk kalimat, frasa tersebut berbentuk berita. Kandungan maknanya juga tidak menunjukkan sebuah larangan. Sebab, kata farihûn tidak spesifik menunjukkan sebuah celaan.

Secara bahasa, kata al-farh berarti naqîdh al-huzn (lawan dari sedih).19 Menurut para mufassir, sebagaimana telah terpapar, kata tersebut bermakna masrûrûn (senang), mu‘jibûn (kagum, bangga), atau râdhûn (ridha). Semua pengertian itu juga menunjukkan makna netral. Sikap farah bisa menjadi terpuji atau tercela, bergantung pada perkara yang menjadi penyebabnya. Jika perkaranya memang layak membuat mereka senang, bangga, dan gembira, maka bersikap demikian bukan sesuatu yang tercela, bahkan diperintahkan. Allah Swt., misalnya, berfirman: Qul bi fadhlillâh wa birahmatih fabidzâlika falyafrahû (Katakanlah, “Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira.”) (QS Yunus [10]: 52).

Sebaliknya, jika perkaranya memang tidak layak untuk dibanggakan dan disambut gembira; atau cara melampiaskannya melampaui batas syariah, maka farah menjadi sikap yang tercela; sebagaimana dalam firman-Nya: Walâ tafrahû bimâ âtâkum wallâh lâ yuhibbû kulla mukhtâl fakhûr (Jangan terlalu bergembira atas apa yang diberikan-Nya kepadamu. Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri) (QS al-Hadid [57]: 23).

Oleh karena itu, jika dalam ayat ini semua hizb yang diceritakan tampak tercela, hal itu bukan disebabkan oleh sikap farihûn-nya, namun karena perkara yang menyebabkan mereka farihûn. Perkara yang mereka kagumi dan banggakan adalah agama mereka yang sesat; sesuatu yang sama sekali tidak layak untuk dikagumi dan dibanggakan.

Realita tersebut dengan jelas dapat diketahui dalam konteks ayat ini. Pada ayat sebelumnya diceritakan tentang adanya orang-orang yang memecah-belah agama yang dibawa para rasul menjadi banyak golongan. Lalu dalam ayat selanjutnya Rasulullah saw. diperintahkan untuk membiarkan mereka dalam kesesatan dan kebodohan.

Konteks yang sama juga tampak dalam ayat lainnya. Kata kullu hizb[in] juga dikekatkan dengan orang-orang yang memecah-belah agama menjadi beberapa golongan. Allah Swt. berfirman:

مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ

Yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka (QS ar-Rum [30]: 32).

Artinya, celaan yang ditujukan kepada semua hizb itu disebabkan karena mereka membanggakan kesesatan agama mereka. Menurut az-Zamakhsyari dan al-Qasimi, frasa ini memberikan makna bahwa masing-masing kelompok yang berbeda-beda dan berpecah-belah dalam agama itu merasa senang dengan kebatilannya, tenteram jiwanya, dan yakin bahwa mereka di atas kebenaran.20

Kedua: Seandainya semua hizb dilarang berdasarkan ayat ini, niscaya tidak ada satu pun hizb yang dipuji Allah Swt. Dalam kenyataannya, masih ada hizb yang dipuji. Hizb yang dimaksud adalah hizbullâh. Mereka disinyalir sebagai kelompok yang mendapat kemenangan (ghâlibûn) (QS al-Maidah [5]: 56) dan beruntung (muflihûn) (QS al-Mujadilah [58]: 22).

Ketiga: adanya perintah kepada kaum Muslim untuk membentuk suatu ummah yang menjalankan tugas dakwah kepada Islam dan amar makruf nahi mungkar (QS. Ali Imran [3]: 104). Kata ummah bisa bermakna thâ’ifah, firqah, atau hizb. Orang-orang yang tergabung di dalamnya dinyatakan sebagai orang-orang yang beruntung. Perintah itu menunjukkan: tidak semua hizb tercela.

Jelaslah, yang menjadi masalah bukan hizb-nya, tetapi akidah apa yang diyakini dan diemban oleh hizb itu. Jika akidahnya kufur (sebagaimana ditunjukkan QS al-Mu’minun [23]: 52 dan QS ar-Rum [30]: 32 ini), maka hizb itu tercela dan dilarang. Sebaliknya, jika mereka berakidah Islam, mengemban dan mendakwahkan Islam, memperjuangkannya agar tegak di muka bumi, serta menjalankan amar makruf nahi munkar niscaya mereka akan mendapatkan keberuntungan dan kemenangan sebagaimana dijanjikan dalam QS Ali Imran [3]: 104. Hizb yang seperti ini bukan hanya tidak terlarang, namun justru diwajibkan.

Wallâh a‘lam bi ash-shawâb. d


Catatan kaki:

  1. Ar-Raghib al-Asfahani, Mu‘jam Mufradât Alfâzh al-Qur’ân, hlm. 19 (Beirut: Dar al-Fikr, tt).
  2. An-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâiq at-Ta’wîl, 2/137 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995); asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, 2/602 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994); Ibnu ‘Athiyah al-Andalusi, Al-Muharrar al-Wajîz, 4/147 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993); al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta’wîl, 2/106 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1988); al-Qasimi, Mahâsin at-Ta’wîl, 7/292 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997).
  3. Al-Qurthubi, Al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Qur’ân, 6/87 Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993); Ibnu Juzyi al-Kalbi, At-Tashîl li ‘Ulûm at-Tanzîl, 2/72 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995).
  4. Al-Wahidi an-Naisaburi, Al-Wasîth fî Tafsîr al-Qur’ân al-Majîd, 3/292 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994); an-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâiq at-Ta’wîl, 2/137; al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta’wîl, 2/106; Ibnu Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, 3/310 (Riyadh: Dar Alam al-Kutub, 1997); az-Zuhaili, At-Tafsîr al-Munîr, 17/57 (Beirut: Dar al-Fikr, 1991).
  5. Ar-Razi, At-Tafsîr al-Kabîr, 23/91.
  6. Al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl, 3/273 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995).
  7. Ar-Razi, At-Tafsîr al-Kabîr, 23/92.
  8. Ibnu Katsîr, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, vol. 3, 310; al-Biqa’i, Nazhm ad-Durar, vol.9 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 207; Ibnu Juzyi al-Kalbi, Al-Tashîl, 2/72.
  9. An-Nasafi, Madârik at-Tanzîl, 2/138; al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl, 3/273; as-Sa’di, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân, 5/332 (Beirut: Alam al-Kutub, 1993); al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, 3/529 (tt: Nahr al-Khayr, 1993) menafsirkan dînahum; sedangkan ar-Razi, At-Tafsîr al-Kabîr, 23/91 memaknainya sesuatu yang berkaitan dengan
  10. As-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, 2/410 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993).
  11. Pendapat Qatadah itu dikutip as-Suyuti, ad-Durr al-Mantsûr, 5/20 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990). Pendapat itu sama dengan pendapat ath-Thabari, Jâmi‘ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, 9/221 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992); an-Nasafi, Madârik at-Tanzîl wa Haqâiq at-Ta’wîl, 2/137; Mahmud Hijazi, At-Tafsîr al-Wâdhih, 2/629 (Zarqayiq: Dar al-Tafsir, 1992).
  12. Sulaiman al-Ajili, Al-Futûhat al-Ilâhiyyah, 5/248 (Beirut: Dar al-Fikr, 2003).
  13. Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, 9/242 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994); al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl, 2/106; al-Wahidi, Al-Wasîth, 3/292; al-Qasimi, Mahâsin at-Ta’wîl, 7/292; al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl, 3/273; asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, 2/604.
  14. Ibnu Madzur, Lisân al-‘Arab, 1/308 (Beirut: Dar ash-Shadir, tt).
  15. Al-Qurthubi, Al-Jâmi‘ li Ahkâm al-Qur’ân, 6/86 dan al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl, 2/106, menafsirkannya dîn mereka; sementara menurut al-Nasafi, Madârik at-Tanzîl, 2/138 selain dîn kata tersebut juga berarti kitab, hawa nafsu, atau pendapat mereka.
  16. An-Nasafi (Madârik at-Tanzîl, 2/138) menafsirkannya masrûrûn; az-Zuhaili (At-Tafsîr al-Munîr, 17/56) menafsirkannya masrûrûn mu’jibûn; al-Khazin (Lubâb al-Ta’wîl, 3/273) dan as-Samarqandi (Bahr al-‘Ulûm, 2/410) mengartikannya mu‘jibûn râdhûn; al-Qurthubi (Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, 6/86), al-Baidhawi (Anwâr al-Tanzîl, 2/106), dan asy-Syaukani (Fath al-Qadîr, 2/604) hanya memaknainya mu‘jibûn. Al-Wahidi (Al-Wasîth, 3/292) hanya menafsirkannya râdhûn.
  17. Ibnu Juzyi al-Kalbi, At-Tashîl l, 2/7.
  18. Al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl, 2/106 menafsirkannya terbunuh atau mati. Al-Wahidi, al-Wasîth, 3/292; Taysîr al-Karîm al-Rahmân, 5/332.
  19. Ibnu Madzur, Lisân al-‘Arab, 2/541; Ibnu Sayyidih, Al-Muhkam wa al-Muhîth al-A’zham, 2/23.
  20. Az-Zamaksyari, Al-Kasyaf, 3/186 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 186; al-Qasimi, Mahâsin al-Ta’wîl, vol. 7, 292. Pendapat yang senada dengan ungkapan yang berbeda juga dikemukakan oleh an- Nasafi, Madârik al-Tanzîl, 2/138; juga ar-Razi, At-Tafsîr al-Kabîr, 23/92; Nizhamuddin an-Naisaburi, Tafsîr Gharâib al-Qur’ân, 5/124 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1996).

Read More......

Hizbut Tahrir, Muktazilah?

Soal:

Siapa sebenarnya Muktazilah? Apa dan bagaimana ciri khasnya? Benarkah Hizbut Tahrir sama dengan Muktazilah? Ada apa sebenarnya di balik tuduhan Hizbut Tahrir Muktazilah?

Jawab:

Muktazilah (mu‘tazilah) secara harfiah berarti kelompok yang terisolir (i‘tizâl).1 Secara terminologis, pendapat yang paling masyhur dan kuat menyatakan bahwa istilah mu‘tazilah (muktazilah) digunakan untuk menyebut Washil bin ‘Atha’ dan para pengikutnya yang diisolir oleh gurunya, Hasan al-Bashri, akibat isu al-manzilah bayn al-manzilatayn.2 Muktazilah kadangkala disebut dengan Qadariah, karena isu al-qadr yang dikemukakan oleh mazhab ini.3

Dalam dua versi laporan Ibn al-Nadim dikatakan: Pertama, Muktazilah adalah sebutan yang diberikan oleh pengikut Hasan al-Bashri kepada Washil.4 Laporan ini populer di kalangan Ahlus Sunnah, seperti yang ditulis al-Baghdadi.5 Kedua, Muktazilah adalah sebutan yang digunakan setelah zaman Hasan al-Bashri, tepatnya oleh Qatadah (w. 117 H/738 M) untuk menyebut Amr bin Ubaid dan para pengikutnya. Amr menyatakan kepada para pengikutnya, bahwa kata i‘tizâl telah digunakan dalam al-Quran sebagai sifat yang dipuji oleh Allah sehingga nama ini mereka terima. Laporan yang terakhir inilah yang diterima oleh sumber Muktazilah, seperti yang tampak dalam statemen Abd al-Jabbar, dalam An-Nasysyâr, “Setiap kata al-i‘tizâl yang dinyatakan dalam al-Quran maksudnya adalah melepaskan diri dari kebatilan sehingga secara pasti dapat diketahui, bahwa kata al-i‘tizâl ini adalah terpuji (baik).6

Al-Baghdadi kemudian membagi Muktazilah menjadi dua puluh dua aliran: (1) Washiliyah; (2) Amrawiyah; (3) Hudhayliyah; (4) Nazzamiyyah; (5) Aswariyah; (6) Ma‘mariyah; (7) Iskafiyah; (8) Ja‘fariyah; (9) Bisyriyyah; (10) Murdariyyah; (11) Hisyamiyyah; (12) Thumamiyah; (13) Jahiziyah; (14) Khabitiyah; (15) Himariyah; (16) Khayatiyah; (17) Murisiyah; (18) Syahammiyah; (19) Ka‘biyah; (20) Jubba’iyah; (21) Basyamiyah; (22) Shalihiyah. Dua dari aliran tersebut, menurut al-Baghdadi, merupakan kelompok ekstrem. Mereka adalah Khabitiyah dan Himariyah. Adapun dua puluh yang lain adalah Qadariyah murni.7

Secara umum, menurut al-Khayyath (w. 298 H), kelompok tersebut belum layak disebut Muktazilah jika tidak memenuhi lima prinsip pokok. Lima prinsip pokok tersebut, yang dikenal dengan ushul al-khamsah, adalah: tawhîd; al-‘adl (keadilan); al-wa‘d wa al-wa‘îd (janji dan ancaman); al-manzilah bayn al-manzilatayn (kedudukan di antara dua kedudukan); dan al-amr bi al-ma‘rûf wa al-nahy ‘an al-munkar (amar makruf dan nahi mungkar).8

Secara detail, pandangan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Tauhid: Allah Swt. adalah Zat Yang Mahaesa, Qadîm (Mahadulu), sementara selain Dia adalah baru (muhdats). Dari sini maka zat dan sifat Allah harus sama-sama Qadîm, yakni hanya satu; tidak terpisah satu sama lain. Sebab, kalau tidak, pasti akan ada dua yang Qadîm, yaitu zat dan sifat. Padahal, yang Qadîm harus satu, dan itulah Allah.9

2. Keadilan: seluruh perbuatan Allah adalah baik dan adil. Allah tidak akan melakukan perbuatan buruk dan zalim.10 Karena itulah, mereka menafikan qadar. Mereka menyatakan bahwa manusia bebas melakukan apa saja sesuai dengan kehendaknya (hurriyah al-iradah) dan dia akan bertanggung jawab di hadapan Allah kelak.11

3. Janji dan ancaman: Allah Maha Menepati janji dan ancaman-Nya. Janji berkaitan dengan kebaikan, seperti pahala dan surga, sedangkan ancaman berkaitan dengan keburukan, seperti dosa dan neraka.12

4. Manzilah bayn manzilatayn (status di antara dua kedudukan): Orang yang melakukan dosa besar tidak boleh disebut Mukmin atau kafir, tetapi fasik. Karena itu, status fasik merupakan kedudukan ketiga, di luar konteks iman dan kufur.13

5. Amar makruf nahi mungkar: Amar makruf nahi mungkar adalah kewajiban; masing-masing sesuai dengan kadar kemampuannya; bisa dengan senjata dan non-fisik. Jika dengan senjata maka di situlah hukum jihad berlaku.14

Inilah beberapa pandangan (maqâlât) yang mereka sepakati. Selain itu, pandangan mereka berbeda-beda. Mengenai para tokohnya, antara lain, adalah Ghaylan ad-Dimasyqi dan Washil bin Atha’. Ghaylan terkenal dengan pandangannya tentang al-qadr, sedangkan Washil terkenal dengan pandangannya tentang al-manzilah bayn al-manzilatayn. Abu Hudhail al-‘Allaf dengan muridnya dan Basyar bin al-Mu‘tamir terkenal dengan konsepnya mengenai tawallud.15 Tokoh lain adalah Abu Ali al-Jubba’i dan al-Khayyath penulis buku al-Intishâr. Tokoh Muktazilah yang terakhir adalah ‘Abd al-Jabbar, murid Abu Hasyim al-Jubba’i, anak Ali al-Jubba’i.16

Selain beberapa pandangan di atas, hal lain yang paling menonjol adalah penggunaan akal sehingga muncul kesan seolah-olah Muktazilah adalah kelompok yang mendewakan akal. Padahal, dalam kasus ini, bisa dikatakan semua ahli kalam menggunakan akal. Bahkan, dalam kasus ini tidak bisa dipilah lagi, mana Muktazilah, Jabariah dan Ahlus Sunnah. Inilah secara umum tentang potret Muktazilah sebagai mazhab akidah.

Dari sini, jelas bahwa Hizbut Tahrir berbeda dengan Muktazilah. Pertama: dalam konteks tauhid, khususnya yang terkait dengan sifat dan zat Allah. Hizbut Tahrir berpandangan, bahwa persoalan sifat dan zat Allah tidak bisa dikatakan satu, yakni sifat dan zat-Nya adalah sama; atau dikatakan berbeda, yakni sifat dan zat (mawshûf)-Nya jelas tidak sama, sebagaimana pendapat mazhab Ahlus Sunnah. Yang benar menurut Hizb, persoalan ini tidak perlu dibahas, karena masing-masing sama-sama berangkat dari asumsi yang dibangun berdasarkan logika mantik, bukan fakta yang sesungguhnya, sementara ‘fakta’ tentang Allah jelas tidak bisa dijangkau oleh akal manusia. Karena itu, pembahasan tentang zat dan sifat Allah harus dihentikan, dengan kata lain, tidak perlu dibahas.

Kedua: dalam konteks keadilan Allah, yang berujung pada hurriyah al-irâdah, tawallud, dan sebagainya, Hizbut Tahrir justru telah mampu mendudukkan persoalan tersebut dengan tepat dan akurat. Pertama-tama, yang harus dijadikan sebagai obyek pembahasan adalah perbuatan manusia, bukan perbuatan Allah. Setelah itu, diketahui bahwa perbuatan manusia itu ternyata ada dua: mujbar (dipaksa) dan mukhayyar (tanpa paksaan). Dalam konteks yang pertama, di situlah wilayah Qadha’ Allah, sedangkan yang kedua tidak. Pada wilayah yang kedua itulah, manusia bebas menentukan pilihannya, dan karenanya kemudian dia akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah. Meski demikian, dalam konteks yang pertama dan kedua, perbuatan manusia selalu terikat dengan sesuatu berikut khashiyah-nya, di situlah wilayah Qadar, dalam konteks Qadha’ dan Qadar, dimana baik dan buruknya bersumber dari Allah.

Ketiga: masalah manzilah bayna manzilatayn yang sesungguhnya merupakan kongklusi logika mantik, dalam logika Hizb, tidak akan pernah ada dan dibahas, karena memang merupakan sesuatu yang tidak bisa dibahas oleh akal manusia.

Keempat: tentang pengagungan akal, justru Hizbut Tahrirlah yang mampu merumuskan batasan akal dengan tepat. Persoalan ini notabene belum mampu dilakukan oleh Muktazilah, Jabariah maupun Ahlus Sunnah. Akibatnya, mazhab-mazhab tersebut terjebak dalam perdebatan yang tak berujung, termasuk tentang sifat Allah, serta Qadha’ dan Qadar.

Dengan demikian, dari mana logikanya Hizbut Tahrir dikatakan Muktazilah? Jelas tidak ketemu, sebagaimana tuduhan sejenis yang lain, seperti Hizbut Tahrir adalah Wahabi, dan sebagainya. Tuduhan seperti ini mencerminkan dua hal sekaligus: kebodohan dan kejahatan penuduhnya. Dikatakan bodoh, karena jelas dia tidak memahami fakta Muktazilah dan Hizbut Tahrir. Dikatakan jahat, karena kalau dia memahami fakta masing-masing kelompok tersebut, maka tujuannya jelas adalah untuk mengaburkan fakta Hizbut Tahrir, dan menciptakan stigma terhadap Hizbut Tahrir. Tujuannya supaya Hizbut Tahrir dijauhi dan ditinggalkan oleh simpatisan dan masyarakat awam, yang kini tengah berjibaku dengannya untuk mewujudkan kembali kehidupan Islam di tengah-tengah mereka. Artinya, mereka ingin mengeluarkan Hizbut Tahrir dari pergaulan masyarakat, dikucilkan dan bahkan dimusuhi oleh umat. Itulah niat jahat mereka. Wallâhu a‘lam, wahuwa Rabb al-musta‘ân. []

Catatan Kaki:

1 Ibn Manzhur, Lisân, XI/440.

2 Al-Syahrastani, Al-Milal, hlm. 22; al-Jurjani, At-Ta‘rîfât, hlm. 282.

3 Al-Baghdadi, Al-Farq, hlm. 131; asy-Syahrastani, Ibid, hlm. 22.

4 Ibn al-Nadîm, Al-Fihrist, hlm. 282.

5 Al-Baghdâdi, Al-Farq, hlm. 40-41.

6 Al-Nasysyâr, Al-Nasy’ah, I/379.

7 Al-Baghdadi, Ibid, hlm. 131.

8 Al-Khayyath, Al-Intishâr, 12; al-Mas’udi, Murûj adz-Dzahab, VI/23; ‘Abd al-Jabbar, Syarh al-Ushûl, hlm. 125-126.

9 Lebih jelas, lihat: ‘Abd al-Jabbar, Syarh al-Ushûl, hlm. 128-129 dan 131.

10 Abd al-Jabbâr, Syarh al-Ushûl, hlm. 133.

11 Al-Khayyath, al-Intishâr, hlm. 13.

12 Ibid, hlm. 134-135.

13 Abd al-Jabbar, Syarh al-Ushûl, hlm. 39-140; al-Khayyath, Al-Intishâr, hlm. 13.

14 Ibid, hlm. 141.

15 Lebih jelas, lihat: ‘Abd al-Jabbar, Syarh, hlm. 424; Ibn al-Nadim, Al-Fihrist, hlm. 286-287; al-Asy‘ari, Maqâlât, II/87-88.

16 Keterangan ini sebagaimana ditulis oleh ‘Adnan Muhammad Zarzur, dosen Universitas Damaskus, Syiria, editor buku Mutasyâbih al-Qur’ân, karya ‘Abd al-Jabbar. Lihat: ‘Abd al-Jabbar, Mutasyâbih, hlm. 14.

-wahai saudaraku yang dicintai Allah..apakah kalian senang melihat saudara kalian tercerai berai?.. Yang mengatakan HT muktazilah, musuh kita orang2 kafir di depan mata tuh…musuh kita bukan HT, muhammadyah, ato NU.kalau kalian masih tetap mencap HT muktazilah lah atau apalah berarti anda adalah orang yang jahat yang berniat mangokohkan keterpecahbelahan umat Islam!!!

-Aq sebenere nggak ngeh dgn hal ngeneki, masih banyak yang kudu dipikirkan. cukup disinilah penjelasan karena Hizbut-tahrir adalah partai politik, bukanjama’ah yang kerjanya sesat-mensesatkan.Biarkan umat yg menilai.

APAKAH ORANG - ORANG YANG IKHLAS MEMPERJUANGKAN KHILAFAH DAN SYARIAH ADALAH ORANG SESAT.

Read More......

TABAYUN I

Tuduhan : HT, Ingkar Sunnah dan Hadis Ahad.

Penjelasan:
Ingkar sunnah, atau dalama bahasa Melayu disebut anti hadits, adalah komunitas yang jelas menolak hadits sebagai sumber hukum Islam. Pada ulama’ sepakat, bahwa menolak Sunnah sebagai sumber hukum, sama dengan menolak al-Qur’an. Sama-sama dinyatakan kufur, orangnya disebut Kafir. Berbeda dengan menolak satu hadits sahih sebagai salah satu sumber hukum. Dalam hal ini, para ulama’ memvonis orang tersebut sebagai orang Fasik. Lebih berbeda lagi, ketika menolak satu hadits untuk dijadikan sebagai dalil untuk kasus tertentu, baik karena sumbernya masih diperdebatkan, atau karena faktor dalalah (konotasi)-nya yang memang dianggap tidak relevan. Yang terakhir ini jelas boleh.
Dalam konteks hadits Ahad, HT tidak pernah menolak hadits Ahad. Jika persoalannya menolak atau tidak, jelas HT tidak pernah menolak. Tetapi, jika masalahnya: apakah hadits Ahad itu bisa digunakan sebagai dalil akidah atau tidak? Juga apakah hadits Ahad itu bisa dijadikan dalil hukum syara’ atau tidak? Tentu, jawabannya bukan menolak atau tidak, melainkan bisa dan tidak sebagai dalil. Dalam konteks akidah, hadits Ahad itu sendiri memang tidak bisa digunakan sebagai dalil. Pertama, fakta akidah itu sendiri yang harus qath’i, atau yakin seratus persen. Kedua, fakta hadits Ahad yang hanya bisa mengantarkan pada ghalabah adh-dhann (dugaan kuat). Artinya, fakta akidah seperti ini —yang nota bene harus yakin seratus persen— jelas tidak bisa dibangun dengan dalil yang hanya bisa mengantarkan pada keyakinan di bawah seratus persen, sementara yang dibutuhkan harus seratus persen. Jadi, masalahnya seperti itu. Bukan soal menerima atau menolak hadits Ahad. Selain itu, dalam hal ini para ulama’ juga terbelah menjadi dua kelompok: ada yang menganggap hadits Ahad bisa dijadikan dalil akidah, dan ada yang tidak. Kembali kepada kesimpulan mereka, apakah hadits Ahad tersebut menghasilkan dhann (dugaan), atau ‘ilm (keyakinan). Maka, menuduh HT dengan menolak hadits Ahad, karena hadits tersebut tidak digunakan sebagai dalil akidah adalah tuduhan yang menyesatkan. Sebab jelas bertentangan dengan fakta.
Adapun dalam konteks hukum syara’, jika pertanyaannya: apakah khabar Ahad bisa dijadikan dalil hukum syara’? Jawabnya pasti bisa. Dalam hal ini, para ulama’ tidak ada perbedaan pendapat.
Disamping itu, HT berpedoman pada nash-nash yang dinyatakan oleh Allah dalam al-Qur’an yang banyak mengecam akidah kaum Kafir, misalnya, surat an-Nisa’: 157, al-An’am: 116, 148, Yunus: 36, 66, an-Najm: 23 dan 28. Kesemuanya dengan jelas mengecam akidah mereka, karena mereka hanya mengikuti dhann (dugaan). Konteks nash-nash tersebut memang ditujukan kepada orang Kafir, yang sekaligus menjadi indikasi adanya larangan yang tegas (nahy jazim) kepada kaum Muslim untuk tidak berakidah seperti mereka. Yang itu berarti, berakidah seperti orang Kafir tersebut jelas haram.
Agar kaum Muslim bisa menjauhkan diri dari larangan tersebut, maka mereka harus meninggalkan hal-hal yang bisa mengantarkan mereka ke sana. Termasuk di dalamnya adalah menggunakan hadits Ahad sebagai dalil dalam berakidah. Secara faktual juga tidak bisa dibantah, bahwa akibat penggunaan dalil seperti ini umat Islam dahulu telah terjebak dalam aksi Kafir-Mengkafirkan, karena adanya ikhtilaf yang dipicu oleh dalil itu sendiri. Logikanya jelas, masalah akidah adalah masalah iman dan kufur; siapa yang tidak mengimani apa yang diimani satu kelompok, maka dianggap kafir. Demikian sebaliknya.
Karena itu, dalam Muqaddimah ad-Dustur, HT menyatakan, bahwa sekalipun negara tidak mengadopsi mazhab akidah tertentu, tetapi negara tetap harus menentukan dalil mana yang bisa digunakan dan tidak dalam berakidah untuk menjauhkan kaum Muslim dari perkara yang dilarang oleh Allah SWT. sebagaimana yang dinyatakan dalam nash-nash di atas.

====================================================================

Tuduhan : HT adalah Muktazilah Gaya Baru yang Cenderung Mendewakan Akal.

Penjelasan:
Kesimpulan HT adalah Neo-Muktazilah adalah cara pengambilan kesimpulan yang sama, sebagaimana cara pengambilan kesimpulan sebelumnya. Semuanya menyesatkan. Intinya, agar masyarakat menjauhkan diri dari HT.
Tuduhan seperti ini, bisa jadi lahir karena kebodohan tentang Muktazilah dan HT itu sendiri, sehingga menyamakan dua fakta yang berbeda, tetapi ironinya dianggap sama; atau karena faktor su’ an-niyyah (niat jahat). Wallahu a’lam.
Jika HT dituduh Neo-Muktazilah karena sama-sama menggunakan akal, maka pertama, kesimpulan ini adalah kesimpulan mantik; kedua, dengan adanya perbedaan antara HT dan Muktazilah dalam memandang akal, sebenarnya sudah cukup untuk meruntuhkan tuduhan tersebut.

Memposisikan akal
Satu hal yang menonjol, Muktazilah sangat mengedepankan akal dalam segala hal. Mereka juga tidak membatasi ruang lingkup kerja akal.
Batasan mengenai akal itu sendiri belum dipahami dan tetap menjadi persoalan di kalangan ulama’ kaum Muslim, termasuk ahli filsafat dari dulu hingga sekarang. Hal itu tampak jelas dari, misalnya, anggapan al-Ghazali bahwa akal itu seperti cermin;8 juga dari pandangan filosof Muslim dan mutakallimin yang membagi akal menjadi tujuh macam akal seperti yang telah disimpulkan oleh al-Amidi dan al-Jurjani,9 padahal akal itu faktanya hanya satu.
Karena itu, demi kebaikan manusia, kehidupan dan alam semesta, harus dipahami fakta akal, proses berpikir, dan metode berpikir.10 Di sinilah HT melakukan analisis terhadap fakta akal, wilayah kerja akal, dan metode berpikir (menggunakan akal) yang benar.
Setelah meneliti dan menganalisis fakta akal, HT memandang bahwa akal (al-‘aql), pemikiran (al-fikr), dan kesadaran (al-idrâk) adalah satu realita yang sama; yaitu sebagai proses pemindahan fakta ke dalam otak, dengan perantaraan indera, yang didukung oleh adanya informasi awal, yang dengan itulah fakta ditafsirkan.11
Dengan demikian, dalam pandangan HT, akal atau pikiran itu terdiri dari empat komponen: (1) fakta inderawi; (2) indera; (3) otak; (4) informasi awal. Walhasil, aktivitas berpikir (menggunakan akal) harus melibatkan keempat komponen ini, yang jika salah satunya tidak ada, tidak akan pernah terjadi yang namanya proses atau aktivitas berpikir.
Dari batasan tersebut, HT kemudian mengklasifikasikan fungsi akal menjadi dua: (1) idrak, dan (2) fahm. Dalam konteks idrak, akal berfungsi untuk menghukumi fakta yang memang bisa diindera, baik secara langsung maupun melalui tanda-tandanya, yang kemudian ditopang dengan informasi awal tentang fakta tersebut. Seperti kesimpulan, bahwa alam itu makhluk, karena bersifat terbatas, tidak abadi dan azali. Sedangkan dalam konteks fahm, akal hanya berfungsi memahami fakta berdasarkan informasi yang akurat tentang fakta tersebut, sementara faktanya itu sendiri tidak bisa diindera. Contoh, pedihnya adzab Akhirat itu adalah fakta (bukan imajinasi) yang bisa dipahami oleh akal melalui informasi Allah, sementara akal tidak pernah bisa menjangkau fakta (kenyataan adzab) tersebut. Tetapi, fakta tersebut nyata, karena sumber informasinya akurat, dan pasti benar.
Maka, dalam pembahasan akidah, HT tidak terlibat dalam perdebatan, misalnya: apakah sifat Allah sama dengan dzat-Nya, ataukah tidak; sesuatu yang nota bene menjadi perdebatan panjang antara Ahlusunnah di satu sisi, dan Muktazilah di sisi lain. Perdebatan seperti ini dianggap keliru oleh HT, karena yang dibahas adalah fakta yang tidak bisa dijangkau oleh akal, sementara dalil naqli juga tidak ada yang membahasnya. Semuanya ini tentu karena HT mempunyai batasan yang jelas tentang akal, wilayahnya, kapan bisa digunakan dan tidak, termasuk mana yang bisa di-idrak, dan mana yang hanya bisa di-fahm saja.
Dalam konteks hukum syara’, dimana akal hanya bisa berfungsi untuk memahami, HT pun telah meletakkan akal bukan sebagai hakim, sebagaimana Muktazilah, yang menyatakan bahwa akal bisa menentukan baik dan buruk, termasuk terpuji dan tercela. Tetapi, HT memandang:

Kebaikan adalah apa yang dinyatakan baik oleh syara’, sedangkan keburukan adalah apa yang dinyatakan buruk oleh syara’.

Demikian juga:

Perkara terpuji adalah apa yang diridhai oleh Allah, sedangkan perkara tercela adalah apa yang dimurkai oleh Allah.

Jadi, tuduhan bahwa HT mendewa-dewakan akal itu jelas menyesatkan. Sebaliknya, HT telah meletakkan akal sesuai dengan proporsi yang seharusnya dimainkan oleh akal. Intinya, HT tidak menghalangi akal untuk menghukumi sesuatu yang sesungguhnya bisa dilakukan oleh akal; sebaliknya, HT Tidak membebaskan (artinya mencegah, red.) akal untuk menghukumi sesuatu yang tidak mampu dijangkau oleh akal.

Memposisikan persoalan Qadha’ dan Qadar.
Jika bukan karena fenomena akal, barangkali tuduhan di atas dibangun karena, menurut mereka, HT beranggapan bahwa manusialah yang menentukan perbuatannya. Sesuatu yang lazim dibahas oleh ulama’ usul dalam persoalan Qadha’ dan Qadar. Benarkah HT mempunyai pandangan yang sama dengan Muktazilah dalam isu kebebasan berkehendak (free will)?
Muktazilah memang sering disebut Qadariah, karena gagasannya tentang qadar, yang menolak dikaitkannya perbuatan manusia dengan takdir. Menurut mereka, manusia itu bebas bekehendak untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan; manusia sendirilah yang menciptakan perbuatannya, bahkan termasuk khasiat suatu benda yang terkait dengan perbuatannya. Misalnya, memukul dengan alat pemukul adalah perbuatan manusia, termasuk rasa sakit yang ditimbulkan dari pukulan yang menggunakan alat pemukul tadi. Teori seperti ini dalam istilah Muktazilah lazim disebut Af’al wa tawalludu al-af’al (perbuatan dan efek yang ditimbulkan perbuatan).
Pandangan inilah yang menyeret Ahlussunnah dan kelompok-kelompok lain. Dari sinilah kemudian berkembang apa yang kemudian dikenal dengan istilah Qadha’ dan Qadar.
Kesalahan yang paling fatal dalam konteks ini adalah karena masing-masing pihak yang terlibat dalam polemik tersebut tidak pernah memisahkan: perbuatan (al-af’al), di satu sisi, dan efek yang ditimbulkan oleh perbuatan (tawalludu al-af’al), di sisi lain. Kesalahan yang kedua, mereka mengaitkan pembahasan perbuatan manusia tersebut dengan perbuatan Allah.
Ketika melihat faktanya seperti ini, HT kemudian memisahkan antara fakta perbuatan dan efek yang dihasilkannya, melalui alat yang digunakannya. Kemudian mendudukan pembahasan tersebut hanya membahas obyek yang bisa dijangkau oleh akal manusia, yaitu perbuatan manusia. Maka disimpulkan, bahwa perbuatan manusia itu ada dua kategori:
Pertama, yang tidak bisa dipilih oleh manusia (mujbar); posisi manusia berada dalam lingkaran yang menguasai dirinya. Di sini, manusia tidak memiliki peran apa-apa. Inilah yang disebut qadha’. Dalam hal ini, baik dan buruknya sepenuhnya dinisbatkan kepada Allah. Dalam konteks seperti ini manusia tidak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah pada Hari Akhirat kelak. Manusia, misalnya, tidak akan dihisab oleh Allah karena gempa atau tsunami yang telah menimpanya, yang menghancurkan harta dan menghilangkan jiwanya; ia juga tidak akan dihisab karena tiba-tiba mobilnya mogok di tengah jalan—tanpa dia sendiri kuasa mengatasinya—sehingga menimbulkan kemacetan total dan tentu saja merugikan orang banyak.
Kedua, yang bisa dipilih oleh manusia (mukhayyar); posisi manusia berada dalam lingkaran yang dia kuasai. Di sini, manusia bisa berperan apa saja. Tentu ini bukan wilayah qadha’, sehingga tidak bisa menisbatkan semuanya kepada Allah. Sebaliknya, baik dan buruknya sepenuhnya merupakan pilihan manusia. Maka, manusia akan dimintai pertanggungjawaban kelak di Akhirat. Manusia beriman atau kafir, misalnya; duduk atau berdiri; makan-minum yang halal atau yang haram; menikah atau berzina; menerapkan hukum Allah atau hukum manusia; dan sebagainya; semua itu berada dalam ikhtiar (pilihan) manusia sepenuhnya. Karena itu, pilihan manusia dalam wilayah ini akan dihisab di hadapan Allah kelak pada Hari Akhir.
Itu di satu sisi, tentang fakta perbuatan manusia. Di sisi lain, fakta perbuatan manusia juga tidak bisa dilepaskan dari alat yang digunakan untuk melakukan perbuatan. Dan dengan menggunakan alat tersebut, muncullah efek perbuatan, seperti rasa sakit yang diakibatkan oleh pukulan yang menggunakan kayu. Apa yang oleh Muktazilah disebut tawallud al-af’al itu dianggap keliru oleh HT. Sebaliknya, yang tepat adalah khashiyat al-asyya’ (khasiat benda), karena faktanya memang demikian. Inilah yang kemudian disebut oleh HT dengan menggunakan istilah qadar.
Khasiat itu sendiri adalah karakteristik khas yang dimiliki oleh benda sebagai ciptaan Allah. Contoh: api mempunyai karakteristik khas bisa membakar dan panas; sementara air mempunyai karakteristik khas bisa membasahi dan memadamkan api. Begitu seterusnya. Semua potensi itu adalah ciptaan Allah yang melekat pada sesuatu sebagai sunatullah. Manusia tidak akan dihisab oleh Allah Swt. berkaitan dengan semua karakteristik yang telah diciptakan Allah pada benda, termasuk pada dirinya sendiri.
Yang dihisab oleh Allah Swt. dalam konteks khashiyat adalah pemanfaatan manusia atas khasiat-khasiat itu. Contoh: manusia tidak akan dihisab oleh Allah karena memiliki hasrat seksual; yang akan dihisab adalah pemanfaatan hasrat seksual tersebut—apakah di jalan yang halal dengan cara menikah atau di jalan yang haram dengan cara berpacaran, berzina, atau melacur.
Dari sini tampak jelas bahwa HT sangat berbeda dengan Muktazilah. Bahkan bisa dikatakan, HT melakukan koreksi atas kesalahan Muktazilah, termasuk Ahlussunnah, sekaligus memberikan solusi yang benar atas persoalan qadhâ’ dan qadar yang diperdebatkan oleh para mutakallimin sejak Abad I Hijriah itu.
Jadi, HT tidak bisa disamakan dengan Muktazilah; keduanya sangat jauh berbeda. Karena itu, tuduhan bahwa HT adalah Neo-Muktazilah merupakan tuduhan yang sangat keliru dan menyesatkan. Ini juga membuktikan, bahwa tuduhan tersebut sekaligus membuktikan kebodohan pihak penuduh terhadap fakta Muktazilah dan HT, atau karena faktor lain, yaitu su’ an-niyyah (berniat jahat).

Read More......
 

Home | Blogging Tips | Blogspot HTML | Make Money | Payment | PTC Review

Bergerak Berkali-Kali coz Mati hanya sekali!! © Template Design by Herro | Publisher : Templatemu