Realistis Terhadap Fakta Demokrasi
“Tidak ada yang memperdebatkan Ayat – ayat Allah, kecuali orang yang kafir” Al Mu’min : 4
“Tidakkah kau perhatikan orang – orang yang telah menukar ni’mat (perintah dan ajaran – ajaran) Allah dengan kekafiran Dan menjatuhkan kaumnya ke lembah kebinasaan? Yaitu neraka jahannam : mereka masuk ke dalamnya; dan itulah seburuk buruknya tempat kediaman” Ibrahim : 28 - 29
“Dan jika kamu mengikuti kebanyakan orang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkan kamu dari jalan Allah, mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanya berdusta (terhadap Allah)” Al An’aam : 116
Ya hari ini kita memang tidak perlu bicara lagi tentang Ideologi, Sejak Hidayat Nur Wahid menyolati legenda Abdullah Bin Ubay Nurcolish Madjid sambil mengharamkan Golput dan duduk bersama Ruyandi Hutasoit, lalu orang sekaliber Din Syamsudinpun pernah berdoa bersama dalam sebuah perayaan natal. Maka jika demokrasi adalah kendaraan menegakkan Syariat Islam, ketahuilah tak ada Syariat Islam yang berdiri dari voting suara – suara manusia. Apalagi jika diantara manusia tersebut terdapat golongan yang tidak beriman kepada Allah Swt dan Rasulullah SAW, dan itulah Dewan Perwakilan Rakyat!
“Sesungguhnya beruntunglah orang – orang yang beriman, (yaitu) orang – orang yang khusyu’ dalam sholatnya, dan orang – orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang melalaikan”
Al Mu’minuun : 1 – 3
Mari kita petakan terlebih beberapa poin penting dalam masalah hudaibiyah dan kecocokannya dengan fenomena iklan (rekonsiliasi) Pak Harto.
1. Keputusan Damai dalam peristiwa Hudaibiyah memang di dasari dari peristiwa keinginan berhaji Rasulullah Saw dan para sahabat. Jadi memang tidak mungkin sebuah niat untuk berhaji dilakukan sambil memancing sebuah peperangan selain itu hanyalah sebuah kesiagaan untuk membela diri ketika di serang terlebih dahulu oleh musuh Islam. Keputusan damai ini bukan keputusan pengampunan dosa Abu Sufyan dan Hindun beserta Kafir Quraisy lainnya.
Rasulullah memaafkan kesalahan (mengampuni dosa) Abu Sufyan dan Hindun yang telah membunuh Hamzah Ra paman Rasulullah dan lain sebagainya bukan pada perjanjian Hudaibiyah. Tapi ketika peristiwa Futuh Mekkah.
2. Kebijakan Rasulullah untuk melakukan gencatan senjata juga dalam bingkai tuntunan skenario Allah Swt dalam wahyu – wahyu Allah Swt yang turun di surat Al Fath.
“Dan orang – orang yang tidak memberi kesaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang – orang) yang mengerjakan perbuatan – perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga harga dirinya” Al Furqaan : 72
3. Rasulullah tidak melakukan gencatan senjata karena ketakutan kaum muslimin kepada thagut musyrikin seperti apa yang terjadi saat ini dimana begitu banyak aktivis dakwah lebih memilih menjual Aqidahnya dengan berkata Pancasila Sudah Final karena ketakutan – ketakutan mereka kepada hal – hal yang sebenarnya membuktikan keraguan mereka kepada kebesaran Allah. Dan itulah yang di maksud Rasulullah sebagai WAHN walau mereka tidak mengakuinya.
4. Ali Bin Abu Thalib tidak mau menghapus kata Bismillahir rahmanir rahim dan Muhammad, Rasul Allah karena sikap Al Wala Wal Baranya kepada Allah dan RasulNya. Coba kita bayangkan seorang sahabat seperti Ali Bin Abu Thalib Ra saja begitu takut merendahkan Allah dan RasulNya, hatta (sekalipun) Rasulullah memintanya.
Bagaimanakah dengan dakwah saat ini dimana begitu mudahnya para ustad – ustad berlabel LC. MA, Doktor Aqidah dan sebagainya mengedit – edit dalil Al Quran dan As Sunnah semau mereka untuk di cocok cocokkan demi sebuah pembenaran Ijtihad dan Tahrir kontemporer. Tidak ada ijtihad yang benar jika ia bertentangan dengan Al Quran juga As Sunnah.
Sekali lagi tanyakan secara logis terlebih dahulu, adakah di zaman ini orang yang sejajar derajatnya dengan kemuliaan Ali Bin Abu Thalib ra yang menolak merubah dua kata sederhana dalam surat perjanjian hudaibiyah? Jika tidak ada, Ali Bin Abu Thalib saja tidak berani bagaimana mungkin para ustad – ustad yang makin mengacung pada thagut pancasila itu berani melakukan ‘hal yang tidak berani dilakukan’ oleh Ali Bin Abu Thalib Ra, dan Bagaimana mungkin dalil hudaibiyah ini cocok dengan dengan dalil ‘kepahlawanan’ Suharto bahkan bung karno yang jelas jelas mensejajarkan Pancasila dan UUD 45 dengan Al Quran dan As Sunnah.
5. Keputusan Rasulullah untuk merubah kedua kata itu adalah kebijakan otoritas seorang Rasulullah Saw, yang kebijakan itu bersifat Sunnah Khususiyat, yaitu Sunnah yang tidak bisa dilakukan oleh orang lain kecuali Rasulullah Sendiri ( dan sikap Rasul itu dibenarkan oleh Allah Swt dengan di turunkannya surat Al Fath ).
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata”
Al Fath : 1
“Katakanlah :’sesungguhnya aku (berada) diatas hujjah yang nyata (Al Qur’an) dari Rabbku sedang kamu mendustakannya. Bukanlah wewenangku untuk menurunkan azab yang kamu tuntut untuk disegerakan kedatangannya. Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah, Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik” Al An’aam : 57
6. Perhatikan baik – baik bagaimana Rasulullah Saw menjawab kegelisahan Umar Bin Khatab Ra yang kurang bisa mencerna dengan baik strategi jangka Panjang dari Perjanjian hudaibiyah.
“Wahai Ibnul Khaththab, aku adalah Rasul Allah dan tidak akan mendurhakaiNya, Dia adalah penolongku dan sekali – kali tidak akan menelantarkan aku.” Jawab Rasulullah Saw kepada Umar Bin Khaththab.
Dalam riwayat yang lain Rasulullah juga berkata “Aku adalah Rasul Allah mana mungkin aku menyesatkanmu”
Dalam hal ini, perlu kita telaah bahwa maqom (level kualitas) Rasulullah memang jelas berbeda. Beliau adalah Rasulullah Saw. Tidak akan mungkin beliau berbohong apalagi mengakali umat Islam demi kepentingan pribadinya. Dan setiap keterlibatan beliau dalam mengambil sebuah keputusan pastilah diketahui oleh Allah Swt.
Sedangkan pada kasus pak harto, apakah gerangan jawaban para pemimpin itu ketika di tanyakan penjelasan tentang mengangkat Pak Harto sebagai pahlawan selain sebuah keputusan syuro (dari sebuah kumpulan pemimpin jamaah yang makin pragmatis). Yang pada akhirnya tidak lebih dari sebuah usaha mencari simpati untuk mengumpulkan suara bagi persiapan pemilu 2009. Jelas ini bukan sebuah sikap yang dicontohkan Rasulullah saw selain sebuah usaha menjilat dalam konteks salah satu bukti ‘menghalalkan’ segala cara demi sebuah kemenangan pemilu. Dan itulah fakta betapa jalan demokrasi bukanlah jalan yang benar di syariatkan oleh Allah dan RasulNya.
Maka jelas penempatan dalil hudaibiyah pada kasus pak harto adalah hal yang tidak nyambung dan sangat jelas hanyalah upaya untuk mencocok cocokkan dalil atau hanya mengutip dalil sepotong sepotong. Inilah yang saya maksud pragmatis itu! Karena kebijakan hudaibiyah bukan kebijakan Syuro tapi kebijakan dari arahan Allah dan RasulNya (wahyu langsung) bukan dari analisa, klaim logika dan asumsi dari segelintir manusia biasa berlabel Dewan Syuro.
“Dan janganlah kamu menukar ayat – ayatKu dengan harga yang sedikit. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang di turunkan Alloh, maka mereka itu adalah orang – orang yang kafir” Al Maaidah : 44
7. Rasulullah memang mengalah, tapi ia tetap tidak membenarkan finalitas berhala – berhala kaum musyrikin seperti Latta, Uzlah dan ratusan berhala lainnya. Berbeda dengan Indonesia dimana para praktisi partai Islam lebih banyak sepakat bahwa Pancasila merupakan sebuah hal yang final. Pancasila itu berhala berbentuk burung garuda, menempatkan Pancasila lebih tinggi dari Al Quran dan As Sunnah merupakan sebuah kemusyrikan!
“Katakanlah : ‘Sesungguhnya aku dilarang menyembah tuhan – tuhan yang kamu sembah selain Allah’. Katakanlah : ‘Aku tidak akan mengikuti hawa nafsumu, sungguh tersesatlah aku jika berbuat demikian dan tidaklah (pula) aku termasuk orang – orang yang mendapat petunjuk”
Al An’aam : 56
Sungguh aneh jika ada orang mengatakan tidak apa – apa menggunakan Nama Pancasila yang penting isinya tetap Syariat Islam. Jangankan bicara Syariat Islam di dalam Pancasila, menjebol system kuffur UUD 45 untuk mensahkan RUU APP yang 100% sesuai Al Qur’an dan As Sunnah saja harus babak belur di kerjain voting dengan budaya dan tradisi kafir, sehingga UU APP yang hadir sekarang memang Pancasilais tapi ia tidak 100 % Al Qur’an dan As Sunnah. Ini fakta bahwa mitos contain Islam dalam pancasila tidak lebih sebuah banyolan kosong dan lucu dan jelas sekali pragmatismenya, karena disitu yang ada justru kita mengolok – olok syariat Allah Swt. Dan itu baru satu contoh saja.
“Dan Sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam Al Qur’an bahwa apabila kamu mendengar ayat – ayat Allah di ingkari dan diperolok – olokkan (oleh orang – orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka, sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang – orang munafik dan orang – orang kafir di dalam Jahannam” An Nisa : 140
8. Yang harus diketahui juga permasalahan lain selain kafir Quraisy dan sekutunya, Umat Islam saat itu memiliki kepentingan untuk menaklukkan benteng Khaibar, salah satu keuntungan dari perjanjian hudaibiyah adalah kesempatan menyolidkan dakwah di Madinah semakin besar, karena salah satu kekuatan kafir yang memusuhi islam sudah melepaskan diri dari peperangan terhadap kaum muslimin. Dalam hal ini manuver dakwah dan jihad kaum muslimin menjadi jauh lebih leluasa untuk sementara karena salah satu kendala dakawah yaitu kaum quraisy di Mekkah sudah ‘takluk’ dalam perjanjian (sementara) Hudaibiyah.
Ini juga dijadikan kesempatan Oleh Rasulullah untuk mempersiapkan pasukan untuk menaklukkan benteng Khaibar yang merupakan markas Yahudi lainnya yang sudah hengkang dari Madinah. Benteng Khaibar adalah salah satu titik kekuatana kafir harbi Yahudi untuk mengkonsolidasikan konspirasi mereka dan menyusun agenda agenda makar terhadap Rasulullah Saw.
9. Lalu juga perlu kita pahami gencatan senjata dalam perjanjian Hudaibiyah bukan sekedar karena kelemah lembutan namun juga kecemerlangan agenda jangka panjang Rasulullah Saw untuk menaklukkan musuh – musuh Islam yang hidup dalam hokum hokum thagut satu persatu tanpa harus menjilat mereka dengan puji – pujian apalagi sampai mengagungkan kaum kafir itu sebagai pahlawan.
Dan momentum itulah yang ditunggu Rasulullah Saw. Setelah menaklukkan Benteng Khaibar, kesepakatan damai selama 10 Tahun menjadi batal, karena pengkhianatan Bani Bakr yang merupakan koalisi Kafir Quraisy yang melakukan penyerangan terhadap Bani Khuza’ah yang merupakan bagian dari kaum muslimin. Serangan dari Bani Bakr itu jelas telah melanggar kesepakatan gencatan senjata Hudaibiyah selama 10 tahun.
Setelah peristiwa itu, Rasulullah Saw menampakkan sikap tegasnya sebagai seorang pemimpin. Momentum pengkhianatan itu bukan hanya membatalkan perjanjian Hudaibiyah, namun itulah momen yang tepat untuk ‘menyelesaikan’ urusan dengan kafir Quraisy di Makkah. Itulah saat dimana Kaum Muslimin memiliki alasan untuk bersiap siap untuk bergegas melakukan perlawanan balik terhadap pengkhianatan Bani Bakr terhadap Perjanjian Hudaibiyah dan kedzaliman mereka yang telah menyerang Bani Khuza’ah. Maka serangan Ke Mekkah harus segera dipersiapkan. Islam tidak memulai perang, tapi pengkhianatan kafirlah yang memulainya.
“Bagaimana mungkin ada perjanjian (aman) di sisi Allah dan RasulNya dengan orang – orang musyrik, kecuali dengan orang – orang yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka)di dekat masjidil Haram (hudaibiyah), maka selama mereka berlaku jujur kepadamu hendaklah kamu berlaku jujur (pula) terhadap mereka. Sungguh Allah menyukai orang – orang yang bertakwa” At Taubah : 7
Ketidakjujuran (baca: pengkhianatan) kaum Quraisy telah memberikan sebuah kesempatan penting bagi umat Islam untuk menaklukkan Mekkah setelah mereka menaklukkan Khaibar. Dan yang tidak kalah pentingnya, Kesempatan untuk menghancurkan Kafir Quraisy di Makkah justru berubah menjadi sebuah pemfutuhan, dimana lebih dari 200 berhala di dalam kabah di hancurkan oleh Rasulullah Saw.
Penghancuran 200 Berhala jelas berbeda dengan memposisikan dalil Hudaibiyah sebagai hujjah untuk membenarkan usaha rekonsiliasi kacangan untuk menempatkan Pak Harto sebagai guru bangsa, jelas sangat ngawur! Karena untuk orang – orang yakin yang pada Al Qur’an dan As Sunnah tentunya mengerti tidak ada yang final bagi Pancasila selain Al Qur’an dan As Sunnah. Kalau Rasulullah saja mengajarkan kita tidak ada kompromi terhadap lebih dari 200 berhala di dalam kabah, maka tidak ada yang final bagi 1 berhala bernama Pancasila, dan Suharto adalah seorang Pancasilais yang juga sudah banyak melakukan kedzaliman terhadap para ulama, mujahid dalam sejarah Indonesia tempo dulu.
“Dan katakanlah, ‘yang benar telah datang dan yang bathil telah lenyap’. Sesungguhnya yang bathil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap” Al Isra : 84
“Katakanlah, ‘Kebenaran telah datang dan yang bathil itu tidak akan memulai dan tidak (pula) akan mengulangi’.” Saba :49
Jadi jelaslah sudah bahwasanya fakta – fakta dalil hudaibiyah ini tidak lebih dari prinsip pragmatis para aktivis Demokrasi, ini tidak lebih dari upaya mencocok cocokkan dalil untuk melegalkan pragmatisme dan opportunism mereka, agar terlihat legal di mata umat seakan sesuai syariat padahal hanyalah sebuah kebohongan belaka….
NABI YUSUF DI PARLEMEN FIRAUN
Banyak dari kita mungkin sering mendengar dalil – dalil dari para aktivis dakwah di dalam parlemen demokrasi thagut, dalam membenarkan usaha mereka berdemokrasi mereka menggunakan dalil :
“Nabi Yusuf As aja masuk ke parlemen Firaun” atau yang lebih dangkal lagi “Nabi Musa As aja cari makan dari Firaun”. Jujur untuk masalah nabi Musa As cari makan dari Firaun belum saya temukan dalilnya sejak Nabi Musa As diangkat menjadi Nabi oleh Allah. Karena setahu saya Nabi Musa memang tumbuh dari keluarga kerajaan Firaun, namun sejak dia diangkat menjadi Nabi beliau tidak pernah berkompromi dengan parlemen Firaun.
Sedangkan untuk permasalahan Nabi Yusuf di Parlemen Firaun, memang bisa di terima bahwa Nabi Yusuf pernah diangkat menjadi bagian dari parlemen Firaun. Namun menjawab hal ini mudah untuk menemukan bantahan ilmiahnya, bahwasanya hujjah tentang nabi Yusuf ini bukanlah alasan yang tepat untuk mengatakan bahwa Demokrasi adalah bagian dari Islam.
Karena risalah Nabi Yusuf bukanlah Risalah yang sempurna, karena itulah Allah selalu mengutus nabi – nabi selanjutnya sejak masa Nabi Adam As hingga ke Nabi Yusuf, lalu hingga ke zaman Nabi Isa As dan berakhir di Nabi Penutup yaitu Muhammad Saw. Dimana tidak ada satupun Nabi yang sempurna risalahnya selain Nabi Muhammad Saw.
Dan perlu di kaji apakah Nabi Yusuf memvoting hokum Allah di hadapan Firaun? Jawabannya adalah TIDAK!
Karena itulah dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Saibah & Al Bazar, suatu ketika Rasulullah Saw melihat Umar Bin Khatab Ra membawa kitab Taurat, lalu Rasulullah Saw langsung marah seraya berkata :
“Wahai Umar, bukankah engkau tahu bahwa aku membawa kertas putih bersih, seandainya saudaraku musa melihatku tidak akan dia melakukan apa – apa selain mengikutiku”
Maka jelaslah sudah hadist diatas bahwasanya tidak layak seorang muslim mengambil contoh dari para Nabi Sebelum Muhammad Saw, karena sejatinya semua Risalah sudah ditutup dan kitab kitab telah disempurnakan melalui kehadiran lelaki mulia yang sempurna dan disempurnakan yaitu Muhammad Saw.
“Dan kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab – kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab – kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan (Al Quran & As Sunnah) dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran (Al Qur’an dan As Sunnah) yang telah datang kepadamu” Al Maaidah : 48
“dan apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada hokum Allah bagi mereka yang yakin?” At Taubah : 50
“Katakanlah: ‘Apakah akan aku beritakan kepadamu tentang orang – orang yang lebih buruk pembalasannya, dari (orang – orang fasik) itu di sisi Allah, yaitu orang – orang yang di kutuki dan dimurkai Allah diantara mereka (ada) yang dijadikan kera dan babi dan orang – orang yang menyembah Thagut?’. Mereka itu lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan yang lurus”. Al Maaidah : 60
Jadi jelaslah sudah bahwa semua dalil pembenaran demokrasi yang tidak berdasarkan pada Al Quran dan As Sunnah apalagi mengeluarkan dalil ‘nostalgia’ dari sebuah risalah yang tak sempurna dari Nabi – nabi sebelum Muhammad Saw adalah kedustaan belaka, yang tidak lebih dari sebuah usaha mencocok – cocokkan dalil yang pada akhirnya amat sangat tidak nyambung.
PEMILIHAN UMUM DALAM PENGANGKATAN KHALIFAH USTMAN BIN AFFAN
Benarkah Pemilihan Umum Terjadi pada masa pengangkatan Khalifah Ustman Bin Affan? Bisakah Syuro para sahabat setelah Syahidnya Umar Bin Khatab untuk menentukan siapa Khalifah selanjutnya sama dengan Pemilihan Umum?
Dalil yang satu ini memang sering juga di gunakan sebagai alasan pembenaran ‘halal’nya pemilu demokrasi di mata Syariat Islam. Namun pada faktanya jelas 180 persen tidak nyambung. Kenapa?
1. Proses pengangkatan Khalifah baik dari Zaman Abu Bakar As Shidiq Ra, Umar Bin Khatab Ra hingga ke Zaman berikutnya berdasarkan Syuro bukan Pemilihan Umum dalam system demokrasi yang menggunakan pengangkatan dari suara terbanyak. Dalam syuro pendapat masyarakat hanyalah masukan bukan sebuah rujukan sebuah keputusan. Sedangkan dalam Pemilihan Umum system demokrasi suara terbanyak adalah pemenang sebuah pemilu.
Di dalam Syuro jika dua orang calon akan diangkat menjadi pemimpin suara terbanyak bukanlah patokan layak atau tidaknya. Namun ketakwaan dan kesholehannya. Ketakwaan dan kesholehan ini di lihat dari: 1. Siapa dulu yang masuk Islam. Jika dua – duanya bersamaan masuk Islam, maka yang ke 2. Di lihat lagi bagaimana Hafalan Al Qur’annya, yang terbanyaklah yang lebih layak memimpin, namun jika sama maka dilihat lagi hal 3. Yaitu siapa yang lebih tua. Dan seterusnya dan seterusnya.
Jadi jelas, sebuah syuro menetapkan sebuah pemimpin yang Sholeh dan bertakwa kepada Allah Swt dan Rasulullah Saw bukan kepada suara terbanyak. Namun seorang calon pemimpin yang akan memimpin umat Islam haruslah memiliki tingkat kesholehan dan ketakwaan yang kesholehan dia itu memang di rasakan oleh masyarakat sekitarnya lebih dari sekedar bias bias retorika.
2. Perbedaan Pemilihan Umum dan Syuro jelas berbeda, perbedaan antara Demokrasi dan Syuro jelas berbeda. Dalam pemilihan umum pemimpin tidak hanya dipilih suara terbanyak tapi juga mereka berhak membuat undang – undang baru. Disinilah letak salah satu kekuffurannya.
Sedangkan dalam system syuro (system islam) seorang pemimpin tidak berhak membuat undang – undang baru selain Al Quran dan As Sunnah. Al Quran dan As Sunnah-lah hokum yang sudah absolute dan tidak boleh dirubah, apalagi di voting.
Kalaupun membuat undang – undang baru, itu boleh – boleh saja. Contoh untuk bab Lalu Lintas Udara, di Zaman Rasulullah tidak ada pesawat terbang, jadi tidak ada nash yang menjelaskan masalah ini. Maka sangat di bolehkan seorang muslim membuat aturan baru tentang ini dengan dasar Al Quran dan As Sunnah.
Sedangkan pada bab – bab yang sudah jelas aturannya seperti bab aurat yang di tolak oleh Undang – Undang anti pornografi. Haram bagi seorang muslim memvoting hokum Allah lalu terlibat dalam perubahannya atas dasar kemaslahatan dari suara terbanyak. Ini letak dimana salah satu contohnya RUU APP yang gagal total untuk bisa membuktikan bahwa jalan demokrasi bisa menjadi jalan penegakan syariat islam melalui parlemen pada akhir terlihat jelas mandul. Karena pengesahan UU APP justru sangat jauh dari nilai – nilai syariat Islam.
“Sesungguhnya Allah tidak suka setiap orang yang tetap dalam kekuffuran dan selalu berbuat dosa” Al Baqarah : 276
Jadi jelas berbeda ketika pengangkatan Khalifah ustman, disitu Khalifah ustman hanya menjadi pemimpin untuk menjalankan Undang undang dasar yang sudah di tetap oleh Allah Swt dan Rasulullah Saw selamanya! Bukan menjalankan undang – undang baru yang di buat sekumpulan manusia dari beraneka ragam kenyakinan ada yang muslim, kafir Kristen, kafir budha, kafir hindu, kafir sosialis, kafir katolik, kafir kapitalis yang merumuskan bersama sebuah hokum masyarakat yang ujungnya menyepakati berdasar voting dan suara terbanyak. Disinilah salah satu alasan kenapa demokrasi adalah system KAFIR!
“Dan Sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam Al Qur’an bahwa apabila kamu mendengar ayat – ayat Allah di ingkari dan diperolok – olokkan (oleh orang – orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka, sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang – orang munafik dan orang – orang kafir di dalam Jahannam” An Nisa : 140
DEMOKRASI BIKIN USTAD JADI OPPORTUNIS
Inilah adalah sebuah kesaksian dari seorang anak ulama, ulama besar itu bernama Abdullah Hanafi Rahimahullah. Ulama besar ini tidak setenar Muhammad Natsir atau bahkan Abu Bakar Ba’asyir dan Rahmat Abdullah. Namun tentunya jika Rahmat Abdullah masih hidup ia akan mengangkat topi jika bertemu beliau. Itulah yang dilakukan Abu Bakar Ba’asyir.
Abdullah Hanafi adalah pendiri sebuah pesantren sederhana Missi Islam. Rahmat Abdullah dan Abu Bakar Ba’asyir adalah salah satu murid beliau. Salah satu anak Abdullah Hanafi memberikan sebuah kesaksian kepada saya. Ustad Hasyim Abdullah bin Abdullah Hanafi mengatakan kepada saya sebelum Rahmat Abdullah meninggal dunia beliau sempat bertemu dengan ustad Rahmat di sebuah toko obat. Lalu Ustad Hasyim bertanya kepada Rahmat Abdullah : “Bagaimana kabar Dakwah Parlemen ustad?” .
Ustad Rahmat Abdullah menjawab lusuh “Susah akhi, kita sulit bicara Syariat Islam di sana, ana saja berencana untuk keluar dari PKS”. Cerita ini mengingatkan saya dalam sebuah mabit paman saya bertanya kepada Ustad Habibullah Lc. Dalam sebuah pertanyaannya itu Paman saya Ustad Raden Ahmad Qudratu terkutip sebuah kalimat “ Ustad Rahmat Abdullah saja sudah lebih dari satu kali mengajukan pengunduran diri dari dakwah Partai”.
Maka cocoklah apa yang saya dengar dari paman saja dengan kesaksian ustad Hasyim Abdullan Bin Abdullah Hanafi itu. Sungguh jika orang besar seperti Rahmat Abdullah saja hendak mengundurkan diri dari PKS, maka mungkin semua itu menjadi tidak jika hari ini saya mendengar beberapa pendiri Masyumi tempo dulu menceritakan bagaimana demokrasi itu tidak akan pernah bisa menjadi jalan untuk menegakkan Syariat Islam. Apalagi jika dalam proses kampanye menggunakan jalan dengan menghalalkan segala cara.
Coba kalian perhatikan kampanye perumpamaan dibawah ini:
“Memang Hijau bisa Thufail Al Ghifari? Untuk Indonesia yang lebih baik mengapa tidak?”
“Memang Biru bisa Thufail Al Ghifari? Untuk Indonesia yang lebih baik mengapa tidak?”
“Memang Hijau bisa Thufail Al Ghifari? Untuk Indonesia yang lebih baik mengapa tidak?”
“Memang Kuning bisa Thufail Al Ghifari? Untuk Indonesia yang lebih baik mengapa tidak?”
“Memang Katolik bisa Thufail Al Ghifari ? Untuk Indonesia yang lebih baik mengapa tidak?”
“Memang Budha bisa Thufail Al Ghifari ? Untuk Indonesia yang lebih baik mengapa tidak?”
“Memang Hindu bisa Thufail Al Ghifari? Untuk Indonesia yang lebih baik mengapa tidak?”
“Memang Kristen bisa Thufail Al Ghifari? Untuk Indonesia yang lebih baik mengapa tidak?”
Islam tidak mengajarkan menjadi bunglon, yang menclak sana dan menclak sini dan berbangga dengan menjual jati diri sambil hidup sebagai penjilat thagut. Islam tidak mengajarkn menjadi abu – abu apalagi taklid seperti kerbau yang mau dituntun oleh anak kecil yang tidak berbaju. Islam adalah kemuliaan yang sempurna dan tidak perlu dikebiri toleransi atas dasar kemaslahatan hanya untuk duduk bersama dengan para kafir musrik dan munafik.
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku cukupkan kepadamu ni’matku, dan telah Ku ridhai Islam itu jadi agama bagimu” Al Maaidah:3
Rasulullah tidak pernah mengajarkan kita menjual hal – hal prinsip demi sebuah kemaslahatan muamallah. Ia telah menolak matahari dan bulan demi Aqidah mulia ini, ia telah bersabar Di Thaif dan dihadapan panah – panah Perang Uhud.
Selain itu, sekalipun ada dalil dari zaman sebelum Rasulullah Saw, ia hanya bisa kita jadikan Ibroh (pengajaran/pelajaran) untuk membuat kita lebih bertakwa kepada Allah dan tetap mengembalikan semua kepada Al Qur’an dan As Sunnah.
“Sungguh, pada kisah – kisah mereka itu terdapat ibroh (pelajaran) bagi orang – orang yang mempunyai akal. (Al Qur’an) itu bukanlah cerita yang di buat buat, tetapi membenarkan (kitab – kitab) yang sebelumnya, menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk rahmat bagi orang – orang beriman” Yusuf:12
Namun Ibroh bukanlah alasan untuk dijadikan dalil hukum menyangkut metode – metode gerak dakwah dan jihad Islam. Karena sejatinya setiap manuver dakwah dan jihad haruslah mencontoh kepada Rasulullah Saw. Ketika nabi Yusuf As masuk ke dalam Parlemen dan Nabi Muhammad Saw, maka setiap muslim wajib mengikuti apa yang di contohkan oleh Rasulullah Saw karena Syariat Nabi Yusuf telah disempurnakan dengan kedatangan Rasulullah Saw.
Beginilah setiap pilihan dan argument harus memiliki kekuatan dalil yang bisa dipertanggung jawabkan. Maka sudah seharusnya setiap muslim realistis terhadap fakta demokrasi. Pada akhirnya tak ada lagi bantahan bahwasanya Demokrasi bukan jalan yang benar dan bukanlah bagian dari metode perjuangan kebangkitan Islam.
“Dan kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab – kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab – kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan (Al Quran & As Sunnah) dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran (Al Qur’an dan As Sunnah) yang telah datang kepadamu” Al Maaidah : 48
“dan apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada hokum Allah bagi mereka yang yakin?” At Taubah : 50
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku cukupkan kepadamu ni’matku, dan telah Ku ridhai Islam itu jadi agama bagimu” Al Maaidah:3
Di riwayatkan oleh Ibnu Katsir, Suatu ketika di zaman Nabi Isa Alaihisalam hidup seorang Ashabul Ukhdud bernama Faimiyyun. Faimiyyun adalah salah satu orang sholeh yang istiqomah dengan Risalah Nabi Isa As.
Namun setelah kepergian Nabi Isa As meninggalkan bumi, perang antara komunitas Tauhid dan Syirik juga terjadi. Para penyihir tumbuh subur menyemai doktrin doktrin kontra tauhid di masyarakat.
Di saat itu juga, hiduplah seorang pemuda yang haus Ilmu yaitu Abdullah Bin Ats Tsamir. Abdullah ingin sekali mempelajari ilmu spiritual. Setelah menyaksikan beberapa penyihir beliau sempat ingin belajar kepada penyihir. Namun suatu ketika Abdullah melihat Faimiyyun melakukan sholat, hingga akhirnya ia tertarik kepada Faimiyyun untuk belajar agama Tauhid,
Bahkan Abdullah penasaran siapakah lebih hebat apakah Faimiyyun atau para penyihir. Suatu ketika Faimiyyun berduel dengan Penyihir. Si penyihirpun mengeluarkan seekor ular, namun seketika itu juga ular itu mati dengan batu yang di lempar Faimiyyun.
Sejak saat itu Abdullah Bin At Tsamir serius belajar ilmu – ilmu kesholehan Nabi Isa As kepada Faimiyyun juga ilmu menyembuhkan orang dari Faimiyyun.
Suatu ketika ada kerabat raja yang sakit. Lalu Abdullah membantu menyembuhkan orang itu dengan pertama menawarkan Tauhid terlebih dahulu. Setelah kerabat tersebut menyakini Tauhid lalu Abdullah berdoa pada Allah dan akhirnya Allah menyembuhkan kerabat raja tersebut.
Akhirnya tiba di saat dimana sang rajalah yang sakit. Lalu si kerabat raja ini menawarkan kepada raja bahwa ia tahu siapa yang bisa menyembuhkannya. Si raja bertanya kepada kerabat itu:
Raja : Siapakah yang akan menyembuhkan?
Kerabat : Rajaku (maksudnya Allah Swt)
Raja : Siapa rajamu?
Kerabat menjelaskan tentang Allah Swt, lalu si Raja marah dan bertanya siapa yang mengajarkan. Akhirnya setelah tahu tentang Faimiyyun dan Abdullah Bin At Tsamir, Raja langsung menangkap kedua orang itu lalu menyuruh keduanya menghadap si Raja.
Setelah bertanya siapa Rajanya, Faimiyyun dengan lantang menyebut nama Allah Swt. Begitu juga kepada Abdullah Bin At Tsamir, Abdullah juga menjawab hal yang sama. Lalu raja mengancam Faimiyyun, jika ia tidak berubah pendirian maka Raja akan membunuhnya. Namun Faimiyyun tidak berubah, maka raja membunuhnya.
Lalu raja menawarkan si Kerabat untuk bertanya kembali siapa rajanya. Namun si kerabat tetap menyebut nama Allah Swt. Maka si kerabatpun di bunuh oleh si raja.
Begitu pula ketika si raja berhadap dengan Abdullah bin At Tsamir. Abdullah tidak berubah ia juga lantang dan tegas menyebut nama Allah Swt. Lalu raja hendak membunuhnya dan memanggil pasukan agar membawa Abdullah Bin At Tsamir ke bawah gunung dan membunuhnya.
Namun ketika para pasukan kerajaan ingin membunuhnya, gunung bergetar. Dan takutlah para pasukan kerajaan tersebut dan segera melaporkannya ke raja.
Lalu raja memerintahkan kepada Pasukan agar membunuh Abdullah Bin At Tsamir di tengah lautan. Namun setelah di bawah ketengah laut, terjadi badai dan perahupun terbalik. Dan Abdullahpun tidak jadi di bunuh.
Kembalilah para pasukan membawa Abdullah menghadap Raja. Setelah si raja kebingungan, Abdullahpun berkata:
“Demi Allah kalian tidak akan bisa membunuhku sebelum kalian mentauhidkan Allah, dan saya tahu caranya”
“Bagaimana caranya” Tanya raja.
“Yang pertama Kumpulkanlah rakyatmu”
“Baiklah” jawab si raja
Setelah Rakyat dikumpulkan, Abdullah kembali bicara di depan raja dan Rakyat yang berkumpul.
“ Gantunglah aku dan panahlah aku sambil mengucapkan Bismillahirrohmannirrohim”
Lalu si raja itupun memperaktekkan itu. Maka benarlah seketika itu Abdullah itupun Syahid. Dan seketika itu juga ribuan rakyat yang menyaksikan itupun beriman kepada Allah Swt. Makin pusinglah si raja ini, maka ia hendak membunuh semua rakyatnya yang menyakini Tauhid.
Lalu rajapun membangun parit – parit dan isinya adalah kayu yang dibakar. Siapa saja rakyatnya yang tidak berpaling dari Tauhid maka akan di lempar ke dalam parit yang terbakar. Lebih dari 20.000 orang memilih melompat bahkan secara sukarela daripada harus berpaling dari Tauhid. Hingga ada seorang ibu yang yakin pada Tauhid namun ragu untuk melompat, dengan anaknya ibu ini sempat terdiam di depan api. Namun saat itu juga anaknya berkata “Ibu tahanlah sakitnya demi kebenaran” maka lompatlah ibu dan anak itu menyusul kesyahidan yang lainnya.
Cerita ini diriwayatkan dari Ibnu Ishak, Wahab Bin Munabbih, Imam Ahmad, Imam Muslim dan Nasa’i.
maka lihatlah saudaraku sekalian, jauh dari zaman Nabi Muhammad Saw, Jauh dari zaman Hasan Al Banna, Sayyid Qutb, Taqiyuddin An Nabhani, Abu Ala Al Maududi dan sebagainya, telah begitu banyak orang sholeh berpegang teguh. Beribu – ribu orang mati demi Tauhid. Mereka menolak berkompromi apalagi memvotingnya, namun kematian mereka tidak membuat dakwah mulia ini berhenti dan hancur.
“Hai orang –orang beriman, barang siapa murtad dari agamaNya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya. Yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang kafir. Yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak taku kepada celaan orang – orang yang suka mencela” Al Maaidah:54
Demi Allah..yang hidupku ada di tanganNya, aku pertanggungjawab tulisan ini di hadapanNya kelak. Wahai saudaraku jika engkau masih berada dalam pengajian pengajian pragmatis yang masih menjadikan Demokrasi sebagai jalan maka segera tinggalkanlah pengajian – pengajian itu, karena begitu banyak kedustaan yang telah disebarkan oleh mereka tentang Demokrasi!
Oleh : Thufail Al Ghifari
Read More......