RAMADHAN: BULAN MENSUCIKAN DIRI
Pada dasarnya, bulan Ramadhan mampu mengubah persepsi dan perilaku seorang muslim sedemikian rupa. Orang fasik menjadi malu menampakkan kefasikannya; orang munafik menjadi enggan mempertontonkan kemunafikannya; orang zalim pun mengurangi intensitas kezalimannya. Orang shaleh makin bersemangat menambah amal baiknya daripada bulan-bulan lainnya. Mesjid-mesjid, majelis taklim, forum-forum kajian keislaman, dan sejenisnya penuh sesak dipadati oleh kaum Muslim. Fenomena seperti ini tidak hanya kita temukan di lingkungan masyarakat secara umum, bahkan di kalangan para pejabat dan selebritis pun menampakkan hal yang sama. Media massa pun tidak ketinggalan, terutama televisi, menayangkan acara-acara yang bernuansa bulan Ramadhan, mengurangi tayangan-tayangan yang menjurus pada pornografi dan kekerasan. Kaum Muslim menyadari, bahwa bulan Ramadhan merupakan momentum yang tepat untuk mensucikan diri (tazkiyatu an-nafs), sehingga di bulan ini mampu tercipta atmosfir keimanan, suasana kebaikan, dan perasaan yang peka terhadap ajaran-ajaran Islam. Namun sayang, fenomena ini hanya ada di bulan Ramadhan saja. Bulan berikutnya, pasca Ramadhan, kembali bergelimang dengan dosa; tidak takut mendemonstrasikan kefasikan, kemunafikan, dan kezaliman; tidak takut kepada murka dan adzab Allah. Kalau begitu, apa pengaruh bulan Ramadhan bagi kita? Bukankah kalau bulan Ramadhan kita jadikan sebagai momentum untuk mensucikan diri, maka pasca Ramadhan mestinya kita bagaikan terlahir kembali, kembali suci? Pasca Ramadhan mestinya ketakwaan seorang Muslim akan semakin bertambah. Ketaqwaan yang lahir dari ketundukan kita pada perintah Allah dan penghindaran diri kita dari perkara yang diharamkan Allah SWT. Allah SWT berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (Qs. al-Baqarah [2]: 183).
Kekeliruan Memahami Tazkiyatu an-Nafs
Ketika Ramadhan datang, banyak orang berlomba-lomba untuk beribadah dan melakukan perbuatan baik. Sayangnya, ketika Ramadhan telah usai, banyak orang kembali melakukan kemaksiyatan dan kedzaliman. Fenomena tersebut senantiasa berulang dan berulang terus setiap tahun. Akibatnya, Ramadhan sebagai bulan mensucikan diri (tazkiyatu an-nafs) hampir kehilangan maknanya. Sebab, bulan Ramadhan tidak berimplikasi pada peningkatan ketakwaan maupun ketundukkan terhadap syari’at Allah pada diri seorang Muslim dan masyarakat umum di bulan-bulan yang lain. Secara umum, tampaknya ada kekeliruan dalam memahami tazkiyatu an-nafs, dan kekeliruan ini telah berimplikasi pada anggapan-anggapan berikut ini:
Pertama, pensucian diri hanya pada bulan Ramadhan. Selama bulan Ramadhan kita sanggup menjalankan ketaatan kepada Allah sedemikian rupa, dan sanggup dengan sedemikian rupa pula meninggalkan segala kemaksiatan. Namun pasca Ramadhan kesanggupan tersebut seakan menguap, ketaatan kepada Allah pun surut dan berpaling menuju ketaatan kepada thagut (na’udzubillah).
Kedua, pensucian diri dilakukan dengan ketakwaan yang bersifat individual dan mengabaikan ketakwaan yang total. Aktivitas tazkiyatu an-nafs dianggap sebagai aktivitas jiwa yang menenangkan hati, Sehingga “wajar”lah upaya pensucian diri ini baru mengarah pada perbaikan diri sendiri saja, dengan miningkatkan ketakwaan yang bersifat individual, misalnya memperbanyak ibadah ritual, sholat tarawih, baca al-Qur’an, banyak berdzikir, melatih kesabaran, tidak berbohong, tidak menggunjingkan orang, dan yang semisalnya, yang semuanya terkategori dalam hubungan kita dengan Allah dan hubungan dengan diri kita sendiri. Sedangkan untuk hukum-hukum kemasyarakatan, seperti politik, ekonomi, pendidikan, dan lain-lain tetap diabaikan. Sehingga pensucian diri ini baru berimplikasi pada perbaikan individu (dan ini pun hanya di bulan Ramadhan saja) dan tidak berimplikasi pada terjadinya perubahan mendasar di masyarakat secara keseluruhan.
Makna Tazkiyatu an-Nafs
Tazkiyatu an-Nafs secara bahasa terdiri dari dua kata, yaitu Tazkiyah dan an-Nafs. Kata tazkiyah berasal dari pecahan kata: zakka–yazukku–tazkiyah, yang berarti membayar, mensucikan. An-Nafs, bentuk pluralnya al-anfus atau an-nufus, yang berarti jiwa, hati, dan diri seseorang. Menurut istilah, batasan nafsu selalu dikaitkan dengan ruh dan jasad. Sebab, keduanya merupakan unsur pembentuk manusia. Sedangkan Ibn Qayyim, setelah mengemukakan pandangan berbagai kalangan tentang nafsu, berkesimpulan bahwa nafsu merupakan sumber pengetahuan akal. Tazkiyatu an-Nafs sendiri secara istilah adalah mensucikan jiwa (diri) kita dengan Islam. Menurut Said Hawwa yang disyarah dari kitab Ihyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn karya Imam al-Ghazali, tazkiyatu an-nafs adalah membersihkan jiwa dari kemusyrikan dan cabang-cabangnya, merealisasikan kesuciannya dengan tauhid dan cabang-cabangnya, dan menjadikan nama-nama Allah yang baik sebagai akhlaknya, di samping ubudiyah yang sempurna kepada Allah SWT dengan membebaskan diri dari pengakuan rububiyah.
Pangkal Kekeliruan dan Pelurusannya
Pengaruh Filsafat
Secara umum telah ada kekeliruan dalam memahami an-nafsu, sehingga berimplikasi besar pula pada kekeliruan upaya penanganan an-nafsu, misalnya pada upaya tazkiyatu an-nafs. Satu kesalahan besar yang dilakukan oleh filsafat Barat dan Yunani selama beabad-abad adalah uraian mereka bahwa manusia terdiri dari ruh dan jasmani. Menurut mereka ruh adalah bagian dari Tuhan. Manakala ruh itu dominan dalam diri seseorang, dia akan menjadi manusia yang baik karena mendekati sifat-sifat ketuhanan. Sebaliknya manakala yang dominan jasmaninya, manusia menjadi buruk sifatnya. Sehingga untuk menjadi baik maka aspek ruh harus ditingkatkan dan meminimalisir aspek jasmani, misalnya dengan melaparkan diri (puasa). Pemahaman filsafat tadi banyak mempengaruhi kaum Muslim, dan berpengaruh besar pada cara pandang mereka terhadap pemahaman Islam. Termasuk dalam memahami an-nafsu. Berangkat dari pemahaman filsafat bahwa manusia terdiri dari ruh yang membawa potensi baik, dan jasmani yang berpotensi buruk, menurut Ibn al-Arabi, an-nafsu berkaitan dengan jasmani, dia adalah kekuatan syahwat yang merupakan sumber sifat-sifat tercela. Sehingga kalau ingin menghilangkan sifat-sifat
tercela pada diri seorang manusia, maka an-nafsu ini harus dihilangkan pula, yaitu dengan mengeliminir sisi jasmani pada dirinya, agar aspek ruh menguat, dan salah satu caranya adalah dengan membuat lapar jasmani (berpuasa). Sehingga mereka menganggap bahwa bulan Ramadhan adalah ajang meningkatkan sisi ruh agar sisi baiknya menguat, yaitu dengan melemahkan pengaruh jasmani, dengan mengurangi makan dan minum, dan mengurangi hubungan seksual. Padahal ruh (bukan ruh sebagai sirul hayah) dalam pembahasan ini bukanlah bagian yang ada dalam diri manusia, tetapi merupakan sifat dari luar yang diinginkan manusia agar bisa mempengaruhi perbuatannya. Dan ini terjadi bukan hanya pada saat pengaruh jasmani pada diri manusia tersebut melemah, akan tetapi bisa terjadi kapan saja, dan bahkan harus diadakan setiap saat. Ruh ini hanya bisa terwujud manakala manusia menyetir perbuatannya dengan aturan dari Allah SWT, karena ruh adalah kesadaran hubungan manusia dengan Allah. Allah SWT berfirman:
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu, dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya.” (Qs. al-A’râf [7]: 3).
An-Nafs sendiri bukanlah kekuatan syahwat yang merupakan sumber sifat-sifat tercela. Nafsu adalah fitrah manusia yang bersifat netral. Allah SWT berfirman:
“Demi jiwa (nafsu) serta penyempurnaan (ciptaan)-Nya. Allah mengilhamkan pada jiwa itu jalan kefasikan dan ketakwaan.” (Qs. asy-Syams [91]: 7-10).
Artinya nafsu itu sendiri pada dasarnya fitrah yang bisa baik dan buruk atau taat dan maksiat. Ia akan menjadi baik apabila dia berupaya menghadirkan ruh di dalamnya, artinya dia mengaitkan nafsu ini dengan kesadaran hubungannya dengan Allah, demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu bagi orang yang memiliki ruh dalam arti kesadaran hubungannya dengan Allah, maka pada hakikatnya nafsunya bahkan seluruh perbuatannya, setiap saat, akan selalu berada dalam daerah hukum Allah SWT. Ketika berada di bulan Ramadhan, kita meningkatkan ketakwaan kita, maka pasca Ramadhan pun demikian, bahkan akan lebih meningkat lagi. Sebab, kita telah digembleng selama 1 bulan penuh, sehingga kita telah terlatih untuk senantiasa meningkatkan keimanan dan keterikatan terhadap hukum syara, dan meyakini bahwa Allah SWT akan memberikan pahala dan siksa atas seluruh perbuatan, baik besar maupun. Sehingga, setiap perbuatan baik yang terkait hubungan dengan Allah, hubungan dengan diri sendiri, dan hubungan dengan manusia lain akan selalu diikatkan dengan syari’at Allah dan RasulNya. Akibatnya, ia tidak hanya mencukupkan diri dengan beribadah dan beramal sebatas individual dan ritual saja, tetapi juga yang terkait dengan hubungan kemasyarakatan, seperti ekonomi, sosial, pendidikan, dan politik, akan dijalankan juga sesuai syari’at Islam, dan jika belum dapat terwujud maka akan berusaha keras mewujudkannya. Sebab, ia menyadari sepenuhnya bahwa ini adalah bagian dari tanggung jawab dirinya sebagai seorang muslim yang harus senantiasa menghadirkan ruh (kesadaran hubungan dengan Allah) pada seluruh aspek kehidupannya; yakni dengan cara menegakkan syari’at Allah. Semua itu senantiasa dilakukan, baik di bulan Ramadhan maupun pasca Ramadhan; bahkan sepanjang hidupnya.
Pengaruh Ide Sekularisme
Meskipun dalam konteks historis, kelahiran sekularisme merupakan bagian dari sejarah feodalisme dan dominasi gereja pada abad pertengahan di Eropa, namun dalam perkembangannya telah menyebar di seluruh belahan dunia, termasuk di dunia Islam. Awalnya sekularisme hanya berbicara tentang hubungan antara agama dan negara, namun dalam perkembangannya pula semangat sekularisme tumbuh dan berbiak ke segala lini kehidupan. Saat ini sekularisme di dunia Islam bukanlah menjadi sesuatu yang asing lagi. Perkembangan sekularisme sudah seperti gurita yang telah menyebar dan membelit kemana-mana. Hampir tidak ada sisi kehidupan umat ini yang terlepas dari cengkeramannya. Akibatnya umat sudah tidak menyadarinya lagi. Inti dari paham sekularisme adalah pemisahan agama dari kehidupan. Agama tidak boleh berperanan aktif dalam kehidupan masyarakat dan kenegaraan. Agama masih direduksi sedemikian rupa hingga tinggal di relung-relung individu, dan kisaran aktivitas individual dan ritual saja. Akibatnya, ketika kehidupan telah dikepung dengan krisis multidimensional, tatanan ekonomi kapitalistik, perilaku politik yang oportunistik, budaya hedonistik, sikap sosial egoistik dan individualistik, dan paradigma pendidikan yang materialistik, maka cara pandang terhadap solusi permasalahannya bukan diarahkan untuk menjadikan agama Islam sebagai way of life di seluruh aspek kehidupan, akan tetapi, kebanyakan orang hanya berusaha memperbaiki dirinya sendiri secara individual untuk lebih mendekatkan diri pada Ilahi. Semua kondisi buruk yang mengepungnya dianggap sebagai suatu “dinamika” kehidupan yang sudah tidak dapat ditawar lagi. Sekalipun ketika hal itu telah menjadikan dirinya sulit mendapatkan ketenangan dan ketentraman, menjadikan hatinya sangat kering dan gersang, namun dia merasa cukup dengan hanya mencari kedamaian hati untuk dirinya sendiri saja, tidak merasa perlu untuk memikirkan orang lain di luar dirinya. Lebih dari itu, ia tidak merasa perlu untuk memikirkan kondisi masyarakat yang ada, apa lagi untuk melakukan upaya perubahan secara utuh. Padahal, Allah telah memerintahkan kita untuk terikat kepada hukum syara’, bukan hanya untuk aktivitas individual dan ritual saja, akan tetapi juga untuk seluruh aspek kehidupan, termasuk hubungan antar manusia dalam masyarakat dan negara. Allah SWT berfirman:
“Hukumlah diantara mereka dengan apa saja yang Allah turunkan, dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka (dengan meninggalkan) kebenaran yang telah datang kepadamu.” (Qs. al-Mâ’idah [5] :48).
Pemahaman yang Sempit Terhadap Dalil
Kekeliruan memahami tazkiyatu an-nafs kemungkinan juga disebabkan karena pemahaman yang sempit terhadap dalil-dalil syara' yang berhubungan dengan tazkiyatu an-nafs. Sesungguhnya, Allah SWT memerintahkan setiap Muslim untuk membersihkan qalbunya. Sebab isi qalbu akan dihisab oleh Allah. Abu Hurairah ra menuturkan, Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk tubuh kalian dan tidak pula rupa kalian, tetapi Allah melihat qalbu kalian.” [HR.Muslim].
Di dalam hadits lain juga dituturkan:
“Dalam diri manusia ada qalbu, bila qalbu itu baik, maka baiklah seluruh jasadnya, bila qalbu rusak maka rusaklah seluruh jasadnya.”
Dari nash di atas, jelas, bahwa seorang muslim diperintahkan untuk senantiasa membersihkan qalbunya. Sebab, baik tidaknya seseorang bergantung pada baik dan tidak qalbunya. Hanya saja, ada kesalahpahaman dalam memberikan makna terhadap qalbu ini. Qalbu sering diartikan sebagai hati atau jiwa, sehingga upaya membersihkan qalbu sering dipahami sebagai upaya membersihkan hati, dan arahannya sangat individual. Padahal, al-Qur’an sendiri menggunakan istilah qalbu dengan makna yang beranekaragam dan tidak keluar dari cakupan makna bahasa tersebut. Makna qalbu berdasarkan al-Qur’an, antara lain:
Pertama, makna qalbu berkaitan dengan akal, pemahaman, dan pemikiran. Allah SWT berfirman:
“Mereka mempunyai qalbu (qulub) tetapi tidak dipergunakan untuk memahami ayat-ayat Allah.” (Qs. al-A’râf [7]: 179).
Dalam ayat tersebut, qalbu bermakna akal (pemahaman) yang mesti digunakan untuk memahami ayat-ayat atau tanda-tanda kebesaran Allah.
Kedua, qalbu bermakna tempat perasaan. Misalnya: tempat kekhusyuan
(Qs. al-Hadîd [57]: 16); tempat perasaan terguncang (Qs. al-Anfâl [6]: 3). Diantara arti penting qalbu sebagai tempat perasaan: qalbu sebagai tempat iman dan takwa:
“Mereka itulah yang dituliskan di dalam qalbu mereka iman.” (Qs. al-Mujâdilah [58]: 22).
Jelaslah, bahwa makna qalbu mencakup akal pikiran dan perasaan. Oleh karena itu, upaya untuk membersihkan qalbu berarti menjaga agar akal pikiran dan perasaannya senantiasa sesuai dengan aturan Allah SWT dan bersih dari aturan thagut. Dan hal ini tidak cukup dengan hanya melalui dzikir dan ibadah ritual saja, namun haruslah diawali dengan keimanan yang shahih lewat proses berfikir yang jernih, disertai dengan ilmu dan penerapan hukum-hukum Allah secara menyeluruh (diri pribadi, politik, ekonomi, negara, dan sebagainya) sebagai cerminan ketakwaan seseorang. Dan hal ini senantiasa dilakukan sepanjang masa, baik di bulan Ramadhan maupun pasca Ramadhan. Sehingga jelas kelirulah anggapan bahwa pembersihan qalbu ataupun pensucian diri cukup dilakukan pada bulan Ramadhan saja. Terlebih lagi ketika ternyata anggapan tersebut hanya berlandaskan pada salah satu hadits, telah bersabda Rasulullah Saw:
“Siapa yang berpuasa pada bulan Ramadhan karena keimanan dan mengharapkan keridhaan Allah, akan diampuni dosa-dosanya terdahulu.”
Padahal syari’at Allah bukan hanya puasa atau aktifitas individual dan ibadah ritual semata, tetapi ada juga syari’at kemasyarakatan dan kenegaraan, dan perintah untuk terikat pada Syari’atNya bukan hanya untuk di bulan Ramadhan saja, tetapi juga di bulan-bulan selainnya.
Metode Shahih Tazkiyatu an-Nafs
Dari pemaparan di atas jelaslah bahwa makna an-nafs itu sangat luas, tidak dibatasi pada hal yang bersifat individual semata. Atas dasar itu, upaya untuk tazkiyatu an-nafs pun tidak boleh dibatasi pada aktifitas individual atau ibadah ritual saja, dan terlebih lagi tidak dibatasi hanya pada saat bulan Ramadhan saja. Sebab, secara umum telah ada kekeliruan dalam memahami makna tazkiyatu an-nafs, dan kekeliruan ini telah berimplikasi pada kekurangpedulian terhadap kondisi masyarakat, karena kita terlalu sibuk memikirkan diri sendiri, dan hanya memikirkan upaya membersihkan atau memperbaiki diri pribadi, dan tidak merasa bertanggungjawab dengan kondisi masyarakat yang semakin jauh dari penerapan syari’at Islam. Dengan demikian sudah seharusnya kita memahami bagaimana metode shahih bagi tazkiyatu an-nafs itu sendiri.
Berdasarkan pada Aqliyah Islamiyyah
Pada penjelasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa nafsu pada dasarnya fitrah yang bisa menjadi baik atau buruk. Karena itu, nafsu harus dibentuk dan dibimbing agar tetap menjadi baik dan benar, yaitu dengan selalu mengikatkannya dengan seluruh syari’at Allah dan RasulNya. Hal ini tidak bisa diraih kecuali dengan meningkatkan tsaqâfah Islamiyah. Setiap Muslim mutlak membimbing pemikiran-pemikirannya dengan tsaqâfah Islam, dengan suatu pembelajaran yang menjadikan pikirannya menyatu dengan perasaannya. Dengan begitu, selain akan membersihkan dirinya secara individu dengan meningkatkan ibadah ritual, dan menghiasi diri dengan akhlaq terpuji, lebih jauh lagi, di dalam dirinya akan terbentuk api yang membakar kezaliman, kemaksiatan, kefasikan, kekufuran, dan segala dosa; sekaligus menjadi cahaya yang menunjuki masyarakat kepada hidayah dan risalah agung ini (Islam) hingga Islam diterapkan bukan hanya pada diri sendiri melainkan di tengah-tengah masyarakat secara total.
Taubah yang Hakiki dan Ketakwaan yang Total
Keberadaan kaum Muslim di dalam sistem kufur sekarang ini telah membuat mereka sangat sulit melaksanakan syari’at Islam, bahkan untuk skala individu sekalipun. Banyak kemaksiatan di sekeliling kita. Seandainya benteng keimanan kita lemah, tidak mustahil kemaksiyatan itu akan menyebar masuk ke dalam rumah-rumah kita, bahkan pada diri kita (na’udzubillah). Oleh karena itu, ketika kemaksiyatan itu sulit untuk dihindari, maka kita harus segera bertaubat dengan taubat yang hakiki. Taubat mesti dilakukan dengan cara memperbanyak istighfar, memohon ampunan Allah akan kelemahan dan ketidakberdayaan kita, menyesali perbuatan masa lampau, dan bertekad serta
~85~
Fikih Puasa Praktis: Berpuasa Seperti Rasulullah Shalalahu Alaihi Wassalam
memohon dikuatkan tekad kita untuk tidak pernah mengulanginya lagi. Hanya saja, kita menyadari sepenuhnya, jika kita hanya mengandalkan pada benteng individu saja, ini sangatlah sulit. Oleh karena itu, kita membutuhkan institusi yang akan senantiasa menjaga masyarakat untuk tetap berada pada koridor syari’atNya. Untuk mewujudkan hal ini, kita pun akan berjuang keras demi tegaknya institusi yang akan menegakkan syari’at Islam di tengah-tengah masyarakat. Institusi itu adalah Khilafah Islamiyyah.
Kehidupan Ramadhan dan Pasca Ramadhan di Masa Rassulullah Saw dan Para Sahabat
Ramadhan sebagai bulan untuk mensucikan diri, dimana target yang kita harapkan adalah bertambahnya ketakwaan. Diharapkan ketakwaan tersebut akan tetap tercermin pula dalam kehidupan pasca Ramadhan. Tidakkah kita mau bercermin pada kehidupan para sahabat Rasulullah Saw sebagai generasi terbaik yang pernah dimiliki umat manusia? Kita bisa menyaksikan bagaimana atmosfir keimanan di tengah-tengah mereka pada bulan-bulan selain Ramadhan senantiasa terpelihara seperti halnya pada bulan Ramadhan. Ketaatan mereka pada Allah dan RasulNya pun bersifat kontinyu dan tidak berubah. Aktivitas sosial, pemerintahan, dan kenegaraan, politik luar negeri, dan peperangan selama bulan Ramadhan tidaklah surut, seperti halnya di bulan-bulan yang lain. Rasulullah dan para sahabatnya atau generasi kaum Muslim terdahulu tidak mengendurkan jihad fi sabîlillâh, apalagi beristirahat selama bulan Ramadhan untuk memfokuskan diri hanya dengan amal-amal ibadah di dalam mesjid belaka. Sungguh, mereka tidak seperti itu. Peristiwa-peristiwa sejarah, seperti Perang Badar Kubra, pembebasan kota Makkah (fathu Makkah), pertempuran di ‘Ain Jalut melawan tentara Romawi, dan lain-lain, semua itu terjadi pada bulan Ramadhan. Ini berarti, bahwa aktivitas kemasyarakatan dan kenegaraan pada masa Rasulullah Saw dan pada masa Kekhilafahan Islam berlangsung sebagaimana adanya, baik pada bulan Ramadhan maupun selain Ramadhan. Mereka konsisten untuk melaksanakan aktivitas kemasyarakat dan kenegaraan sesuai dengan hukum Allah, baik di bulan Ramadhan maupun di luar bulan Ramadhan. Suasana dan atmosfir keimanan ada di sepanjang tahun, bukan hanya pada bulan Ramadhan saja. Akibatnya, seakan-akan sepanjang tahun adalah Ramadhan. Semua ini bisa terwujud, karena, negara Khilafah telah menjadikan Islam sebagai asas pemerintahan dan kehidupan masyarakatnya. Tidak hanya itu saja, negara Khilafah juga menunjukkan peranan besarnya dalam menjaga ketakwaan masyarakat. Sistem hukum Islam menjadi pilar dasar seluruh interaksi kehidupan masyarakat dan para pemimpinnya. Sedangkan akidah Islam menaungi seluruh kehidupan umat.